Liputan6.com, Jakarta Sejak dahulu identitas bangsa merupakan persoalan yang selalu hangat dibicarakan, terutama dalam bidang kesusasteraan dan kajian budaya. Jika kita hanya merujuk kepada bidang pascakolonial, persoalan identitas ini memang merupakan suatu kasus yang mendasar kepada negara-negara bekas tanah jajahan--seperti Indonesia pada masa Hindia Belanda--apalagi jika penjajahan oleh kuasa asing itu berlangsung terlalu lama.
Retorika penjajah tentang kehebatan budayanya telah lama berjaya menggugah identitas atau jati diri sebagian besar kaum pribumi yang rapuh pegangannya terhadap budayanya sendiri. Alhasil, retorika penjajah tersebut menjadikan pribumi memilki sifat rendah diri (inferior) dan cenderung malu akan budaya dan bahasanya sendiri.
Syukurlah semangat kebangsaan yang berhasil dibangun dan dicetuskan oleh kalangan pribumi di Hindia Belanda berhasil diraih dan akhirnya dinyatakan sebagai sebuah kebulatan tekad oleh pemuda-pemuda Indonesia.
Advertisement
Upaya meraih kembali identitas bangsa melalui bahasa tersebut akhirnya dinyatakan melalui suatu kesepakatan yang disebut oleh pemuda Indonesia pada masa itu sebagai Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Atau sekarang lebih kita kenal sebagai Sumpah Pemuda 1928. Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu disepakati bersama untuk dijunjung sebagai bahasa persatuan.
Barulah pada awal abad ke dua puluh ketika semangat kebangsaan mulai bangkit di kalangan pemuda dan rakyat Indonesia, istilah Indonesia mulai ramai dilaung-laungkan penggunaannya. Para pemuda pergerakan yang duduk di wakil rakyat seperti Haji Agus Salim dan kemudian diikuti oleh Muhammad Yamin, sudah mulai menyebutkan bahasa Indonesia dan bukan lagi bahasa Melayu dalam pidato-pidato mereka yang dimuat dalam surat kabar maupun ketika dalam rapat-rapat di wakil rakyat (volksraad) di Hindia Belanda pada 1919.
Namun, jauh sebelumnya beberapa sarjana Eropa seperti Adolf Sebastian telah menggunakan istilah Indonesia ini dalam satu tulisan yang dimuat di majalah de Malaisch tahun 1850.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Bab XV pasal 32 dan 36. Kemudian, dikukuhkan dalam undang-undang kebahasaan tahun 2010.
Bahasa dan sastra Indonesia semakin mantap dikukuhkan sebagai alat pemersatu dan pengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa juga semakin kuat tercermin melalui kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang dengan pesat setelah kemerdekaan.
Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa lebih-lebih dalam konteks global. Kepentingan identitas menjadi utama kalau kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran budaya global.
Keadaan Kebahasaan saat ini
Kekayaan sastra yang telah digambarkan di atas hendaknya juga sejalan dengan fungsi kekayaan bahasa daerah di Indonesia, yakni seyogyanya menjadi penyumbang bagi pengembangan bahasa Indonesia ke depan.
Di sinilah politik bahasa yang tepat perlu diterapkan, sehingga bahasa daerah tidak menjadi terancam perannya dan bahasa ibu tetap dapat hidup dan berkembang dengan baik ketika kebijakan bahasa Indonesia menjadi pilihan politis yang juga harus dijalankan.
Kita tentu tidak menginginkan situasi kebahasaan yang rumit seperti di India terjadi juga di negara kita. India yang juga memiliki ratusan bahasa daerah terpaksa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional kedua ketika bahasa nasional resmi, yakni Hindi, tidak mampu menjadi jembatan bagi alat komunikasi yang menyatukan bangsa India yang multietnik tersebut.
Belum lagi persoalan penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia seperti yang disampaikan oleh Remy Sylado (2005), bahwa 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Hal ini tentu agak menyedihkan jika mengingat betapa kayanya bahasa daerah yang dapat kita manfaatkan untuk menambah kosakata bahasa Indonesia tersebut. Namun sayang, hal ini belum terlaksana dengan baik.
Di sinilah peran dan tantangan yang harus kita ambil sebagai peneliti kebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah, baik yang berada di lembaga bahasa seperti Badan Bahasa dan kantor Balai Bahasa maupun perguran tinggi seperti Universitas Negeri Gorontalo, untuk berperan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia ke depannya.
(Adv)