Liputan6.com, Jakarta - Pada hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, Lembaga Imparsial menyinggung dinamika politik yang mengingatkan publik tentang era orde baru. Kerinduan terhadap pemerintahan Soeharto dianggapnya tidak tepat.
"Imparsial menilai dinamika politik kekinian yang menghadirkan asumsi dan opini dalam diskursus publik bahwa era Orde Baru adalah era yang baik, sehingga ada kerinduan ingin kembali kepada masa itu, sungguh ahistoris dan tidak tepat," ucap Direktur Imparsial, Al Araf, dalam keterangannya, Senin (10/12/2018).
Baca Juga
Dia memandang, kehidupan politik pada masa Orde Baru sarat kekerasan dan pembatasan. Demi mempertahankan kekuasaannya yang otoritarian, soeharto dinilai menggunakan kekerasan dan ancaman.
Advertisement
"Stigma komunis dan pengganggu stabilitas keamanan kerap disematkan kepada para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan. Padahal dalih kepentingan keamanan itu merupakan tameng rezim untuk mempertahankan kekuasaannya yang korup dan bobrok," jelas Al Araf.
Alhasil, lanjut dia, berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM banyak terjadi. Seperti penculikan aktivis 1997/1998, pembredelan media massa, pembunuhan aktivis buruh Marsinah, perampasan tanah rakyat seperti kasus Kedung Ombo, berbagai kekerasan kepada kelompok mahasiswa.
Imparsial juga melihat, kekhawatarian terhadap kekuatan Islam menghasilkan kontrol ketat bagi kelompok Islam seperti melalui kebijakan pemaksaan atas asas tunggal Pancasila.
"Kekerasan kepada kelompok Islam seperti di Tanjung Priok dan Talangsari Lampung. Dan bahkan rezim juga tidak segan menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di wilayah-wilayah konflik seperti Papua dan Aceh yang praktiknya mengakibatkan terjadinya berbagai kasus pelanggaran HAM," ungkap Al Araf.
Pada era itu, lanjut dia, kebebasan menjadi barang mahal. Pemerintah membatasi dan mengontrol secara represif kebebasan warga negara yang sifatnya fundamental. Seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan berkumpul.
"Di masa itu negara bukan berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tapi negara berdasarkan pada kekuasaan (machsstaat). Sehingga yang selalu benar adalah penguasa dan yang salah adalah rakyat, karenanya kekerasan negara yang berujung pada terjadinya pelanggaran HAM seringkali terjadi pada masa Era Orba," jelas Al Araf.
Masa Reformasi
Memasuki era Reformasi, memunculkan harapan yang besar di masyarakat akan adanya koreksi atas berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu. Sayangnya, setiap rezim pemerintahan yang berkuasa pada masa Reformasi tidak kunjung menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
"Problem disharmoni peraturan perundang-undangan memang menjadi masalah utama dalam politik legislasi era Reformasi, yang hasilnya ada UU yang menjamin hak asasi tetapi ada UU lain yang sebaliknya, justru mengancam dan membatasi kebebasan dan HAM," kata Al Araf.
Karena itu, pihaknya, meminta pemerintah segera membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus orang hilang 1997-1998. Langkah terdekat kedua yang bisa dilakukan oleh Presiden adalah dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap semua berkas kasus HAM yang sudah dilimpahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung.
"Langkah ketiga dapat dilakukan Pemerintah adalah dengan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 39/1999 untuk memperkuat kelembagaan Komnas HAM. Langkah keempat, Pemerintah sebaiknya meratifikasi Statuta Roma (International Criminal Court atau ICC/Mahkamah Pidana Internasional) sebagai komitmen Pemerintah dalam pemajuan penegakan HAM di Indonesia dan dunia," terang Al Araf.
Advertisement