Liputan6.com, Surabaya - Terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik ujaran 'idiot', Ahmad Dhani kembali menjalani sidang ketiga dengan agenda tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota keberatan atau eksepsi penasehat hukum Ahmad Dhani di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Ada tiga poin dalam eksepsi yang dibacakan penasihat hukum Ahmad Dhani. Salah satunya dalam penerapan Pasal 27 ayat 3 dianggap keliru oleh penasihat hukum. Selain itu, berkas dalam dakwaan JPU juga tidak diberi tanggal. Serta yang melaporkan seharusnya perseorangan, bukan badan.
"Kami menolak semua poin eksepsi Ahmad Dhani. Karena eksepsinya tidak mendasar," ucap JPU, Rahmat Hari Basuki, usai sidang di PN Surabaya, Kamis (14/2/2019).
Advertisement
Menurutnya, dakwaan yang dibacakan JPU pada sidang pertama sudah sesuai undang-undang. Di mana dakwaannya telah diberi tanggal dan diterima panitera PN Surabaya.
Kemudian mengenai pihak yang melaporkan perkara ujaran kebencian adalah subjek dari organisasi yang berbadan hukum. Bukan objek, tapi ada subjeknya yaitu orang-orang yang ditunjuk sebagai ketua atau anggota.
"Itulah yang melaporkan. Jadi kami nilai dakwaan ini sudah sesuai dengan UU. Untuk itu Majelis Hakim agar memutuskan menolak eksepsi dari penasihat hukum, dan menetapkan perkara ini untuk dilanjutkan," ujarnya.
Kuasa Hukum Ahmad Dhani Prasetyo, Aldwin Rahadian Megantara sebelumnya membacakan beberapa point nota keberatan (Eksepsi) kliennya di Pengadilan Negeri Surabaya. Sidang kedua dengan agenda pembacaan Eksepsi yang berlangsung di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya.
Sidang dipimpin langsung Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, R Anton Widyopriyono.
Kuasa hukum Ahmad Dhani, Aldwin dalam surat surat dakwaan yang dibuat JPU pada halaman pertama, lokasi atau Locus Delicti dari tindak pidana berada di Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan, Surabaya. Akan tetapi penentuan Locus Delicti itu dianggap keliru.
"Karena yang didakwakan bukanlah kegiatan membuat vlog, tapi kegiatan distribusi yang dianggap memuat unsur penghinaan," ucap dia.
Â
Kesalahan Penerapan Pasal
Selain itu, dia menilai terjadi kesalahan penerapan Pasal UU ITE. Dalam surat dakwaan, JPU menulis perbuatan terdakwa melanggar Pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) UU RI No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.
Dalam dakwaan itu, yang menjadi dasar dakwaan UU No 19 Tahun 2016 Pasal 45 ayat (3) sebagai Pasal Penitensir (Pemidanaannya/sanksinya) dan Pasal 27 ayat (3) sebagai deliknya.
"Ini sangat keliru, karena Pasal 27 ayat (3) tidak diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Sedangkan ketentuan yang diubah hanyalah Pasal 45 ayat (3) nya saja. Sehingga sangat keliru menuliskan dakwaan dengan pasal yang tidak ada dalam suatu Undang-undang. Yang benar adalah Pasal 27 ayat (3) UU RI No. 11 TAHUN 2008 Jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI No. 19 Tahun 2016," ujarnya.
Ketiga, eksepsi surat dakwaan tidak dapat diterima. Alasannya, pengaduan Klacht Delict (delik aduan) tidak sah. Sebab Pasal 27 ayat (3) UU ITE terikat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, yang mensyaratkan adanya pengaduan dari korban langsung.
Penegasan tentang keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai delik aduan juga telah tertuang dalam kaidah hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 50/PUU-VI/2008 tertanggal 5 Mei 2009.
"Oleh karenanya menjadi jelas bahwa yang dapat melakukan pengaduan (klacht) atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE, hanyalah korban yang dicemarkan nama baiknya atau dihina, maka yang harus menjadi korban dan melakukan pengaduan terhadap pelanggaran Pasal itu adalah orang perorangan, bukan organisasi, perkumpulan, atau badan Hukum. Sedangkan di sini dilakukan kelompok gabungan koalisi Bela NKRI," kata Aldwin.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement