Liputan6.com, Jakarta - Dua peristiwa alam dengan waktu berdekatan terjadi di Jawa Timur. Gempa dengan magnitudo 5,9 yang kemudian dimutakhirkan menjadi magnitudo 5,6 menggoyang Malang, Selasa (19/2/201) pukul 02.30 WIB. Lindu dengan kedalaman 10 kilometer tersebut dipastikan tidak berpotensi tsunami.
Tak lama berselang, Gunung Bromo, yang letak geografisnya tak jauh dari Malang, erupsi dan mengeluarkan abu vulkanik putih kecoklatan.
Baca Juga
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut, erupsi terjadi sekitar pukul 06.00 WIB. Tinggi kolom abu teramati kurang lebih 600 meter di atas puncak (± 2.929 m di atas permukaan laut). Status Bromo pun naik menjadi Level II atau Waspada.
Advertisement
Dua peristiwa alam ini pun mengundang tanya, adakah keterkaitan antara gempa Malang dengan erupsi Bromo?
Ahli Geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Amien Widodo berpendapat, gempa Malang dan erupsi Bromo adalah dua peristiwa alam yang berbeda.
"Jalannya beda-beda. Sistemnya sendiri-sendiri dan letaknya beda jauh," ujar Amien saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/2/2019).
Dia menyebut, gempa Malang terjadi karena tumbukan lempeng Samudra Hindia dan Eurasia.
"Beberapa bulan terakhir Malang Selatan memang sering gempa. Terakhir ya pagi tadi itu hingga magnitudo 5, terasa dampaknya," ujarnya.
Sedangkan untuk Bromo, Amien menyatakan erupsi merupakan fenomena yang biasa terjadi karena memang saat ini sudah waktunya gunung itu aktif.
"Kalau memang aktif, ya aktif, memang begitu. Seperti orang hamil, ketika tiba masanya ya mbrojol, mengeluarkan abu panas," tuturnya.
Amien menjelaskan, erupsi Bromo yang terakhir terjadi pada 2010 dan pada 2019 ini kembali terjadi.
"Jadi kisaran waktu erupsi Gunung Bromo itu terjadi sembilan tahun sekali, kayak Gunung Merapi, mirip-mirip," katanya.
Penegasan serupa disampaikan Adi Susilo. Kepala Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Malang ini berpendapat, gempa Malang dan erupsi Bromo tak terkait. Fenomena itu adalah keseimbangan alam yang normal terjadi.
"Justru jika tidak terjadi gempa dan aktivitas vulkanik di Gunung Bromo, masyarakat Malang dan sekitarnya patut waspada," jelasnya kepada Liputan6.com Selasa, (19/2/2019).
Dia menyatakan, waktu gempa dan letusan Bromo yang berdekatan itu, hanya kebetulan. Menurut Adi, titik kedalaman gempa Malang sangat dangkal, jika dipotong ke utara tidak akan menyentuh kelompok magma Bromo.
Dekan Fakultas Matematika dan IPA (Mipa) Universitas Brawijaya ini menyebut, dua fenomena alam itu memang harus rutin terjadi. Pelepasan energi yang bisa mengurangi potensi terjadi gempa maupun letusan gunung berapi yang jauh lebih besar.
Gempa yang terjadi di selatan Malang disebabkan kerak atau lempeng patahan bumi di kawasan ini termasuk tua. Sehingga sangat sering terjadi gempa bumi berkekuatan besar yang bisa terekam maupun gempa kecil yang tak bisa terekam oleh seismograf.
"Kalau sering terjadi gempa itu lebih baik karena terus melepas energi. Berbahaya jika tak ada, patahan berpotensi terjadi gempa berkekuatan besar," ucap Adi Susilo.
Sedangkan Bromo yang termasuk gunung berapi aktif, sangat wajar jika terjadi gempa tremor yang terus-menerus. Kolom di dalam kawah gunung berapi purba ini juga terbuka, melepas energi dengan bentuk aktivitas vulkanik yang rutin.
"Pelepasan energi di Bromo seperti yang terjadi hari ini masih wajar. Berbahaya kalau aktivitasnya berhenti, itu bisa terjadi erupsi dalam skala lebih besar," ulas Adi.
Karena itulah, gempa yang mengguncang Malang dini hari tadi tak ada korelasinya dengan aktivitas vulkanik di Gunung Bromo. Ini sekaligus memberi sinyal pada pemerintah daerah agar selalu siap siaga jika terjadi bencana alam.
"Mudah–mudahan kekuatan gempa dan letusan Bromo tetap kecil seperti hari ini. Sehingga tak ada potensi terjadi bencana lebih besar,” kata Adi Susilo.
Terpisah, Peneliti utama kegempaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja menyatakan, gempa tektonik bisa saja mempengaruhi erupsi gunung.
Dia mencontohkan kejadian di Sumatera pada 2007. Saat itu gempa di Singkarak diikuti letusan Gunung Talang Sumatera Barat tidak lama setelah gempa.
"Intinya gelombang gempa itu bisa membuat tekanan magma naik, karena timbul gelembung udara di magma. Kalau kebetulan ada gunung api yang magmanya penuh terus ada gempa, ya dia berpengaruh," jelasnya, Selasa (19/2/2019).
Hanya, Hilman tidak bisa memastikan apakah kasus gempa Malang juga berkorelasi dengan erupsi Bromo.
"Saya belum lihat persis datanya. Jadi belum bisa bilang banyak. Kemungkinan besar sih enggak," ujarnya Danny.
Penegasan gempa Malang tak terkait letusan Bromo juga disampaikan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Kabid Humas BMKG Taufan Maulana menyatakan, gempa magnitudo 5,6 di Malang adalah aktivitas tektonik di Samudra Hindia, 170 km selatan Malang. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan, gempa dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan jenis sesar naik (thrust fault).
"Sementara ini kita simpulkan tidak ada kaitan (dengan letusan Bromo),"ungkapnya kepada Liputan6.com, Selasa (19/2/2019)
Pihaknya masih berkoordinasi detailnya soal apakah aktivitas tektonik ini menimbulkan dampak kepada aktivitas vulkanik di Gunung Bromo.
Terlepas itu, pihaknya mengimbau warga Malang dan sekitarnya selalu waspada, tetapi tidak perlu terlalu khawatir dan takut.
"Harapan kita gempa ini memang sebuah proses alamiah yang wajar yaitu proses pelepasan energi gempa dan tidak menimbulkan kerusakan," ujarnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kode Vona Oranye
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengeluarkan kode Volcano Observatory Notice for Aviation (Vona) warna oranye menyusul hujan abu di Bromo.
Kode tersebut menjadi petunjuk penerbangan bagi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan 3 Bandara di Jawa Timur, yakni Bandara Juanda Surabaya, Bandara Abdurrahman Saleh Malang dan Bandara Blimbingsari Banyuwangi.
Kode Vona oranye artinya ketinggian abu di bawah 5.000 meter di atas permukaan laut. Kode itu dikeluarkan menyusul meningkatnya aktivitas kegempaan di Bromo. Asap tebal membubung setinggi hampir 700 meter dari puncak kawah Bromo, sejak Senin 18 Februari 2019.
Kolom asap itu, juga membawa material abu vulkanik. Sehingga mengakibatkan hujan abu tipis di sekitar Bromo.
Kode Vona oranye juga menunjukkan bahwa abu yang dikeluarkan gunung api intensitasnya rendah. Laporan Vona berisikan informasi waktu letusan, tinggi letusan serta warna abu.
Pada Selasa pukul 06.00 WIB, dilaporkan tinggi kolom abu sekitar 600 meter dari atas puncak (2.929 meter di atas permukaan laut).
Informasi dari Darwin VAAC (Volcanic Ash Advisory Center) menyebut sebaran abu vulkanik masih belum terdeteksi.
"Kami akan memantau perkembangannya untuk update ke depan. Akan tetapi tetap waspada bagi penerbangan," ujar Kasi Data dan Informasi BMKG Wilayah III Juanda Teguh Tri Susanto, Selasa (19/2/2019).
Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Bandara Abdulrahman Saleh Malang Suhirno mengatakan, aktivitas penerbangan di bandara tak terganggu dengan kondisi Bromo.
"Situasi tetap aman. Tak terdampak apapun dan tetap beroperasi seperti biasa," kata Suharno, Selasa (19/2/2019).
Dia menyatakan, sejauh ini otoritas bandara tak menerima informasi atau pemberitahuan yang bersifat mendesak. Baik dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) maupun dari Kementerian Perhubungan yang bisa menyebabkan pembatalan jadwal penerbangan.
"Tidak ada pembatalan karena memang normal-normal saja kondisinya," ujar Suharno.
Secara keseluruhan Bandara Abdulrahman Saleh Malang melayani 14 jadwal penerbangan setiap harinya. Dengan sebagian besar melayani rute Malang-Jakarta. Tak ada satu pun jadwal yang ditunda atau dibatalkan terkait aktivitas Bromo.
Advertisement
Bromo Tetap Aman Dikunjungi
Meski 'batuk' dan mengeluarkan abu vulkanik, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNTBS) menyebut kawasan wisata Bromo tetap aman dikunjungi.
"Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi Bromo kondusif, seperti hari-hari biasanya," ujar Kepala Balai Besar John Kenedie, Selasa (19/2/2019).
Berdasarkan informasi dari PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) Pos Pengamatan Gunungapi (PPGA) Bromo yang berada di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, disebutkan aktivitas Bromo Level II atau Waspada.
Sementara cuaca dilaporkan dalam kondisi cerah, berawan, mendung, dan hujan. Angin bertiup lemah ke arah timur laut, timur, tenggara, selatan, dan barat daya, dan barat. Suhu udara 12-20 °C, kelembaban udara 0-0 %, dan tekanan udara 0-0 mmHg.
Secara visual, Bromo terlihat meski berkabut. Asap kawah bertekanan lemah hingga sedang teramati berwarna putih dan coklat. Asap ini dengan intensitas tipis hingga tebal dengan tinggi mencapai 700 meter atas puncak kawah. Dengan Tremor Menerus (Microtremor) terekam dengan amplitudo 0.5-1 mm, dominan 1 mm.
"Secara umum kondisi Bromo masih kondusif. Dengan potensi kesiap-siagaan yang harus ditingkatkan, yakni kewaspadaan dan mematuhi arahan dan instruksi pengelola TNBTS dan PVMBG," lanjut John Kenedie.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Gunung Bromo Wahyu Andiran Kusuma menambahkan, meski kondusif warga dan juga wisatawan diminta mematuhi radius aman sejauh 1 kilometer dari kawah Bromo.
PGA Gunung Bromo tak bisa memastikan apakah gunung suci Suku Tengger ini akan kembali turun atau malah naik aktivitas vulkaniknya. Namun apapun perubahannya bakal segera diinformasikan secepatnya ke masyarakat.
"Warga maupun wisatawan tetap bisa ke Bromo, tapi tak boleh mendekat kawah. Jika ada perubahan dalam waktu dekat, segera kami informasikan," katanya.
Wahyu menyatakan, sampai saat ini status Bromo masih waspada. Bromo status siaga terakhir kali pada medio Desember 2015 – Juli 2016. Erupsi saat itu ditandai dengan letusan sampai material abu vulkanik tinggi. Tapi statusnya kembali diturunkan ke level waspada sejak 20 Juli 2016 setelah erupsi surut.
"Jadi kalau ada informasi statusnya siaga bisa dipastikan itu hoaks," tegasnya.
Sejak erupsi terakhir itu pula, aktivitas vulkanik Bromo fluktuatif. Namun, gejala perubahan aktivitas mulai tampak pada Desember 2018 sampai Januari 2019 lalu. Saat itu sempat terjadi beberapa kali gempa vulkanik di dalam kawah.
"Tapi cirinya tetap sama, dari dalam kawah hanya mengeluarkan asap putih. Itu masih tanda normal," ujar Wahyu.
Perubahan mulai terjadi dalam dua hari terakhir ini. Kawah mengeluarkan asap kecokelatan disertai material abu vulkanik setinggi 600 meter. Disertai intensitas tipis tremor 0,5 – 1 milimeter. Namun, puncak gunung masih tampak jelas dengan sesekali tertutup kabut.
"Jadi sejak dua hari terakhir ini bisa disebut ada erupsi, tapi levelnya masih kecil," pungkasnya.