Liputan6.com, Jakarta Tepat pada hari ini, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Isu bahasa ibu sendiri di Indonesia identik dengan bahasa daerah. UNESCO memperkirakan sekitar 3000 bahasa daerah akan punah sampai dengan tahun 2100. Dikatakan, hanya tinggal setengah dari seluruh populasi bahasa saat ini yang masih akan eksis.
Baca Juga
Advertisement
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) sebagai lembaga pemerintah yang berfokus pada ranah bahasa dan sastra, merayakanĀ Hari Bahasa Ibu Internasional dengan mengadakan Gelar Wicara dan Festival Tunas Bahasa Ibu bertajuk "Menjaga Bahasa Daerah, Merawat Kebinekaan". Isu kepunahan bahasa daerah menjadi perhatian khusus Badan Bahasa dalam perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional yang berlangsung hari ini di Gedung Samudra Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Rawamangun (21/02/2019).
Profesor Dadang Sunendar selaku Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyatakan, jika anak-anak baru belajar bahasa daerah di sekolah, maka itu sudah sangat terlambat.
"Apalagi penutur Indonesia adalah penutur yang trilingual, menguasai paling tidak tiga bahasa. Saya rasa di sini juga banyak yang bahasa ibunya langsung bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa daerah," ungkap Dadang.
Menurut Dadang, salah satu sebab punahnya bahasa daerah adalah keengganan orangtua untuk mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di rumah masing-masing. Karena itu, dia mengimbau agar upaya pelestarian bahasa daerah bisa dimulai dari lingkup terkecil, yakni keluarga.
Selain itu, Dadang juga menyoroti minimnya peran kepala daerah atau pemerintah daerah dalam upaya pelindungan bahasa dan sastra daerah di Indonesia. Dadang menyebut kehilangan bahasa sangat genting, sebab kehilangan bahasa berarti kehilangan daya kreativitas dan keberagaman intelektualitas sebagai realisasi kemanusiaan. Kepunahan bahasa berarti pula kematian kekayaan batin kelompok etnis pengguna bahasa.
Ā
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Contoh Baik Pelestarian Bahasa
Mengutip UNESCO, ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berhargaāsejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.
Oleh karena itu, Badan Bahasa, menurut Dadang, menghargai upaya baik konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan para pemangku kepentingan. Salah satunya terkait bahasa Hitu di Maluku Tengah.
Bahasa Hitu merupakan bahasa yang berstatus stabil, tetapi terancam punah (rentan). Bahasa Hitu tergerus oleh bahasa Ambon, sehingga sepuluh tahun ke depan diperkirakan statusnya kan berubah menjadi terancam punah. Bahasa ini juga tidak memiliki sistem aksara dan tidak diajarkan di sekolah.
Berdasarkan kajian Badan Bahasa, bahasa Hitu perlu dikonservasi dan direvitalisasi. Oleh karena itu, kini sudah ada bahasa ajar, berupa kajian semantik dan morfosintaksis bahasa Hitu di Maluku Tengah. Bahasa ini pun mulai diperkenalkan lagi melalui pengajaran klasikal dan seni, pencanangan penggunaan bahasa Hitu setiap hari Minggu oleh Raja Negeri Hitu Lama, serta masuk dalam kurikulum sekolah dasar. Selain itu, para orangtua pun turut didorong untuk mengajarkan bahasa Hitu kepada anak-anaknya.
Selain bahasa Hitu, Dadang menyebut program revitalisasi juga sudah berjalan di Kabupaten Rote Ndao, yakni pelestarian bahasa Rote yang diintegrasikan dengan gerakan literasi dan aktivitas seni budaya. Bahkan, Bupati Rote Ndao juga mendorong bahasa daerah Rote masuk dalam pengajaran di sekolah.
Selain upaya pengajaran formal, upaya pelestarian bahasa bisa dilakukan melalui kegiatan, seperti berpuisi, bernyanyi, berdialog, berpidato, dan menulis huruf (aksara) daerah. Hal ini berbasis komunitas. āSalah satunya dekat kampung saya, di Ciawi, Tasikmalaya, yaitu berupa pelatihan tembang Ciawian/Pageurageungan, serta ada juga di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu,ā ujar Dadang.
Dadang menegaskan, Badan Bahasa selalu mendorong pemerintah daerah giat dan aktif melestarikanĀ bahasa dan sastra daerah karena bahasa terkait jati diri. Sebab, penting merawat kemajemukan bahasa sebagai āgentongā penyimpan pusparagam kebudayaan suatu bangsa.
Advertisement