Liputan6.com, Jakarta - Pembangunan sebuah kompleks gedungditeken oleh Presiden Sukarno pada 8 Maret 1965. Gedung itu merupakan salah satu wujud pengukuhan kemerdekaan Indonesia yang ingin ditonjolkan oleh Sang Proklamator.
Usai kemerdekaan, Indonesia memang gencar menjadi tuan rumah untuk berbagai event internasional. Semangat yang dipegang pada saat itu adalah penghapusan penjajahan di atas muka Bumi.
Pada 1965, Presiden Sukarno mencetuskan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Sebuah wadah dari New Emerging Forces, tandingan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Advertisement
Anggotanya direncanakan terdiri dari negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Sosialis, negara-negara Komunis, dan semua progresive forces dalam kapitalis.
Seperti Liputan6.com kutip dari buku Gedung MPR/DPRÂ RI: Sejarah dan Perkembangannya, pada 8 Maret 1965, dengan semangat revolusioner yang sedang berkobar, Presiden Sukarno menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk melaksanakan pembangunan proyek political venues di Jakarta.
Gedung tersebut bakal diperuntukkan penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional di bidang politik.
Kompleks bangunan itu bakal dilengkapi dengan proyek olahraga yang sudah sempat dibangun semasa penyelenggaraan kegiatan pesta olahraga se-Asia, Asian Games.
Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 48/1965. Menteri PUT, Soeprajogi kemudian menerbitkan Peraturan Menteri PUT Nomor 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo.
Meski keputusan untuk membangun Proyek Conefo diputuskan pada 8 Maret 1965, tapi pada November 1964, pemerintah telah membuka sayembara untuk rancangan kompleks itu.
Berdasar catatan, sayembara ini diikuti oleh tiga perusahaan konsultan perencanaan dan satu peserta perseorangan. Namun, rancangan peserta independen inilah, Soejoedi Wirjoatmodjo, yang berhasil memikat hati Menteri PUT dan Sukarno.
Karyanya merupakan satu-satunya rancangan yang disertai maket. Dia pun berhasil mengejewantahkan permintaan pemerintah tentang penerapan ciri khas Indonesia ke rancangan itu. Termasuk bentuk bangunannya yang unik.
Pekerja berusaha menyelesaikan pembangunan tersebut sesuai waktu yang ditentukan.
Pada puncaknya, sekitar 27.000 tenaga dari berbagai macam latar belakang pendidikan, bekerja sama dan bergantian tiga kali dalam 24 jam menggarap pembangunan kawasan tersebut. Malah, untuk menutupi kekurangan tenaga pengawasan teknis di lapangan, dosen-dosen dan mahasiswa ITB Bandung, UGM Yogyakarta dan ITS Surabaya dikerahkan.
Sesuai dengan ketentuan yang diberikan, pada 17 Agustus 1966, pembangunan proyek political vanues selesai. Seluruh struktur bangunan bisa diwujudkan. Namun, belum ada sentuhan akhir.
Belum juga dilanjutkan, pada 30 September 1965, peristiwa G30S/PKI meletus. Pada situasi macam ini, pemerintah berusaha mempercepat pengerjaan gedung tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Berubah Peruntukan
Meletusnya peristiwa tersebut menyulut pergolakan besar terhadap segala sendi kehidupan masyarakat. Pada kondisi itu, berbagai hal yang semula direncanakan pemerintah, kacau-balau.
Peremajaan Gedung DPR yang saat itu berada di dekat Lapangan Banteng, terganggu dan terpaksa dihentikan. Pembangunan kawasan Senayan juga mengalami situasi serupa.
Jelang akhir 1966 pemerintah dan DPR membicarakan tentang pembangunan gedung dewan yang terhenti. Apakah gedung di dekat Lapangan Banteng harus dilanjutkan atau mencari gedung baru?
Pada kenyataannya, satu-satunya gedung yang memadahi adalah gedung untuk Conefo.
Akhirnya, turunlah surat Nomor 79/U/Kep/11/1966 tertanggal 9 November 1966. Surat itu salah satunya memutuskan, proyek political venues tetap dilanjutkan tapi peruntukannya diganti untuk kantor para anggota dewan.
Advertisement