Gagasan Para Akademisi untuk Calon Pemimpin Indonesia

"Bangun kota modern sehingga rakyat punya tempat kerja keras yang dihargai."

oleh stella maris diperbarui 05 Apr 2019, 20:21 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2019, 20:21 WIB
Diskusi Pemilu 2019
Para akademisi dari Presiden University dan Universitas Indonesia usai diskusi Quo Vadis Pemilu 2019 yang diselenggaran oleh Presiden Executive Club (Jababeka Group).

Liputan6.com, Jakarta Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi perhelatan lima tahunan selalu menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Termasuk didalamnya adalah sejumlah cendekiawan dan akademisi Tanah Air.

Di tengah berbagai isu yang meragukan kredibilitas penyelenggaraan pemilu, para akademisi dari Universitas President University (PU) dan Universitas Indonesia (UI) duduk satu meja. Mereka membahas mengenai kemajuan Indonesia di tangan calon pemimpin negara yang nantinya terpilih setelah 17 April 2019.

Acara bertajuk Quo Vadis Pemilu 2019 ini diselenggarakan oleh Presiden Executive Club (Jababeka Group), di President Excecutive Lounge, Menara Batavia, Jakarta pada Jumat (5/4).

Pendiri President University Setyono Djuandi Darmono dalam konteks ekonomi sosial mengatakan bahwa calon pemimpin terpilih nantinya diharapkan lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Presiden terpilih nantinya bisa bergerak cepat, terukur, dan terstruktur. Gagasan yang diharapkan bisa menjadi solusi kesenjagangan sosial untuk kesejahteraan masyarakat adalah membangun kota modern di sejumlah titik di Indonesia.

Jababeka
Presiden Executive Club sekaligus Pendiri President University Setyono Djuandi Darmono.

"Bangun kota modern sehingga rakyat punya tempat kerja keras yang dihargai. Di dalam kota itu ada aturan ketat, namun tetap aman dan nyaman. Nantinya kota-kota itu dalam beberapa tahun ke depan mekar dan dapat mempengaruhi masyarakat di sekitarnya, sehingga semua provinsi maju," kata Darmono.

Kedua menurutnya dengan memberi kesempatan pada generasi muda, untuk melatih skill-nya di perusahaan dalam konteks magang. "Jadi lulus dari SMA atau SMK mereka sudah terdidik sesuai kebutuhan perusahaan."

Selain soal kesenjangan sosial, diskusi ini juga membahas tentang praktik transaksional atau politik uang. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) 2011-2016, Budi Susilo Soepandji mengatakan bahwa Indonesia harus lebih baik jika pemilu yang menjadi perwakilan idealisme, berjalan tanpa politik uang.

"Jika hal itu dilanggar akan berbuntut panjang secara hukum dan politik, mulai dari gugatan hukum hingga potensi gejolak di kalangan masyarakat," kata Budi.

Padahal menurutnya, money politic atau politik menjadi hal penting karena menunjukkan kualitas sumber daya manusia di era demokrasi yang berkaitan erat dengan moral, kejujuran, dan karakter.

Diskusi Pemilu 2019
Diskusi Quo Vadis Pemilu 2019.

Tentang politik uang juga dibahas oleh Guru Besar UIN Jakarta lainnya, Komarudin Hidayat. Menurutnya budaya korupsi kian menjamur bahkan sampai ke generasi muda yang terjun ke dunia politik. Kondisi itu disebabkan karena adanya kesenjangan kesejahteraan.

Masih dalam bahasan pemilu 2019, menurut Komarudin korupsi dan politik yang menjadi lorong gelap lantaran mahalnya biaya politik. Alhasil kaum muda yang terjun ke dunia politik, ikut mengambil jalan pintas (politik uang) dalam berdemokrasi.

Meski demikian, para akademisi ini punya gagasan yang menurut mereka layak dipertimbangkan. Salah satunya manajemen sistem demokrasi yang harus diperbaiki. "Ukurannya adalah rakyat. Apapun caranya yang menang haruslah rakyat, di mana suara rakyat diwakilkan oleh DPR/DPRD."

Untuk diketahui, selain Darmono, Budi Susilo, Komarudin, juga hadir para akademisi lainnya, seperti Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro, Menteri Tenaga Kerja (2005-2009) Erman Suparno, Rektor IAIN Jakarta Azyumardi Azra, Menteri Negara Ristek (1999-2001) Muhammad Hikam, dan sejumlah akademisi PU dan UI lainnya. 

 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya