Komisi III DPD RI Usulkan Perbesar Porsi Pencegahan daripada Pemberantasan

"Umumnya negara kita, penduduk kita itu, cenderung menutup-nutupi. Dianggap ini aib malu bagi keluarga..."

oleh stella maris diperbarui 15 Mei 2019, 09:54 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2019, 09:54 WIB
Komisi III DPD RI
Anggota Komisi III DPD RI

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komite III DPD RI, Abdul Aziz Kafia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas revisi Undang Undang No.35 Tentang Narkotika yang berkaitan dengan tingginya peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Rapat itu  dihadiri sejumlah lembaga penggiat narkoba, Selasa (14/5). 

Salah satu poin yang diusulkan dalam undang-undang tersebut adalah memperbesar porsi pencegahan daripada upaya pemberantasan. Abdul Azis menjelaskan kondisi real saat ini, dengan percepatan informasi dibutuhkan undang-undang yang lebih tepat, dengan kondisi kekinian.

Menurutnya, revisi difokuskan dengan mencegah daripada memberantas. "Saya sangat setuju bahwa harus punya ketegasan. Jangan meniru negara lain terkait penegakan hukum. Kalau memang masih membutuhkan hukuman mati tetap saja dicantumkan hukuman mati, dan itu diberlakukan buat pengedar. Kalau buat pecandu memang harus direhabilitasi karena bagaimana pun statusnya sebagai korban. Tapi yang paling bahaya ini tetap pengedar," ujar anggota DPD asal DKI Jakarta ini.

Senada dengan itu, anggota Komite III lain, Abdul Jabbar Toba menilai kenakalan remaja seharusnya tidak sepenuhnya disalahkan pada remaja. Itu karena peranan orangtua ikut menentukan sikap anak. Selain orang tua, peranan pemuka agama juga berperan penting dalam pembekalan ilmu agama. 

"Ke depan mulai SD sampai Perguruan Tinggi, remaja-remaja masjid, para kos-kosan perlu didekati juga. Perlu kita dekati lagi tentang peranan agama didalam pemberantasan narkoba ini. Jadi perlu para ulama dan ustazah dibekali dengan bahan tentang dampak narkoba," kata anggota asal Provinsi Sulawesi Selatan tersebut.

Anggota Komite III, Herry Erfian menambahkan jika regulasi tidak memberi efek jera terkait hal rehabilitasi, maka tidak akan berdampak bagi pengurangan kejahatan narkoba di Indonesia. Untuk itu, Herry berharap adanya sanksi yang berat baik bagi pemakai atau pecandu, sehingga sama-sama memiliki efek jera untuk tak lagi memakai narkoba atau bahan-bahan aktif lainnya.

Menanggapi hal itu, Deputi Penindakan BNN, Arman Depari menjelaskan pihaknya menyambut baik usulan amandemen regulasi tentang narkotika. Teknologi farmasi berkembang dengan sangat pesat, sehingga pengaturan tentang kejahatan narkotika dan zat adiktif lainnya sangat dibutuhkan.

Lebih lanjut Arman mengakui, regulasi yang ada saat ini tidak mengakomodir tentang pencegahan penggunaan narkotika, melainkan mengatur tentang pemberantasan, penegakan hukum dan pemutusan suplai.

"Padahal kami juga perlu sosialisasi ini yang output-nya mencegah, nah itu yang tidak ada. Ini sangat teknis sekali ini perlu dibahas kembali supaya masalah pencegahan ini seharusnya equal seimbang dengan pemberantasannya. Padahal kalau diingat petuah orangtua dulu, sebenarnya lebih bagus itu mencegah dari pada mengobati. Upaya pemberantasan itu hal terakhir kalau pencegahannya tidak berhasil," jelasnya.

Selain itu, sosialisasi dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama sudah seharusnya diatur dalam regulasi, sehingga penting untuk memasukkan peranan masyarakat dalam revisi undang-undang tersebut.

"Dan yang paling penting dalam hal ini kenapa peran serta masyarakat ini perlu. Umumnya negara kita, penduduk kita itu, cenderung menutup-nutupi. Dianggap ini aib malu bagi keluarga, padahal ini penting sekali," ujarnya.

 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya