Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk menganggap, ancaman pembunuhan terhadap tokoh lembaga survei merupakan hal yang ganjil.
Menurutnya, lembaga survei sudah mengikuti standar ilmiah dalam menggali data. Ia tidak mengontruksikan fakta, melainkan memotret fakta di masyarakat.
Baca Juga
"Ya aneh, maksud saya begini, apa urusannya lembaga survei diancam. Itu kan, kita melakukan survei ilmiah sudah mengikuti prosedur-prosedur ilmiah. Maksud saya begini, bagi saya agak heran apa urusannya misalnya ya, peneliti, pemilik lembaga survei, orang yang bekerja di lembaga survei diancam akan dibunuh. Saya tidak melihat alasan yang masuk akal untuk membunuh itu apa?" papar Hamdi Muluk saat dihubungi di Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Advertisement
Selain itu, Hamdi juga merasa heran mengapa yang menjadi target sasaran serta ancaman pembunuhan hanya Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya.
"Satu lagi saya heran juga, kenapa hanya Yunarto? yang lain juga melakukan kok. Ada 11 lembaga lain juga pada waktu quick count itu. Hasilnya sama aja, ada Cyrus, ada CSIS, ada Poltracking, sama semua kok. Ini jadi aneh kenapa hanya Yunarto yang disasar," tegas Hamdi.
Padahal, menurut profesor Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu, lembaga survei selama ini sudah banyak membantu masyarakat untuk menilai elektabilitas baik calon presiden maupun legislatif secara objektif.
"Publik banyak terbantu. Menjadi pegangan bagi orang, oh ini kandidat yang lagi ratingnya bagus, ini partai yang ratingnya bagus. Itukan tidak ada masalah iya kan? Jadi bagi saya tuh agak aneh ya," lanjut Hamdi.
Dia juga menyayangkan publik Indonesia yang gagal memahami kerja lembaga survei dan merasa kecewa hasil dari lembaga tersebut. Padahal lembaga survei menghasilkan temuan di masyarakat.
"Menurut saya ndak dewasa berdemokrasi. Dia (mereka) mengatakan lembaga survei memenangkan satu kandidat A, mengalahkan kandidat B ndak bisalah. Lembaga survei hanya memotret, sekarang popularitasnya begini, elektabilitas segini, iyakan?" kata Hamdi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Demokrasi Tidak Sehat
Hamdi menganggap fenomena tersebut sebagai bentuk ketidaksehatan demokrasi di Indonesia. Baginya, hal itu bukan kabar suatu hal yang baik bagi iklim demokrasi di Indonesia.
"Dari mulai juga rusuh 21/22 Mei, ada ancaman juga pembunuhan, ancaman lagi dilanjut tokoh-tokoh yang lain, termasuk Menko Polhukam. Itu kita berdemokrasi mundur, ini bukan berita baik bagi demokrasi kita. Tidak boleh kita berdemokrasi perbedaan pendapat diselesaikan secara kekerasan, intimidasi, anacam-mengancam, bunuh-membunuh. Itu perdaban mundur, abad kegelapan kali ya," tutur Hamdi.
Menurut Hamdi, hal itu bisa terjadi karena sebagain elite politik yang tidak memiliki sikap kenegarawanan serta legowo atas hasil pertarungan politik.
"Ini adalah kurangnya sikap kenegarawanan menurut saya, kurang sikap sportifitas. Kalau kalah ya sudah, jangan mengajak orang untuk rusuh. Elite politiknya gentleman dong," pungkasnya.
Â
Advertisement
Ancaman terhadap Yunarto
Sebelumnya diberitakan, Wadir Reskrimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary membeberkan dugaan rencana pembunuhan terhadap Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.
Para tersangka yang telah ditangkap polisi, menurut dia, mengaku diperintahkan Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen untuk membunuh Yunarto.
Salah satunya adalah tersangka Irfansyah alis IR. Ia mengaku diperintahkan Kivlan Zen untuk membunuh Yunarto Wijaya saat bertemu dengan Kivlan Zen pada April 2019. Irfansyah bertemu Kivlan Zen di Masjid Pondok Indah, ditemani rekannya, Armin dan Yusuf.
"Kivlan salat asar sebentar, setelahnya memanggil saya lalu saya masuk ke dalam mobil Kivlan, lalu (Kivlan) mengeluarkan HP dan menunjukkan alamat serta foto Yunarto 'quick count' dan Pak Kivlan bilang 'cari alamat ini, nanti kamu foto dan video'. Siap, saya bilang," kata Irfansyah dalam video yang diputar polisi dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Irfansyah mengaku menerima uang Rp 5 juta dari Kivlan Zen sebagai biaya operasional. Ia juga mendapat alamat kantor Charta Politika di Jalan Cisanggiri 3 Nomor 11.
"Keesokan harinya kami langsung survei yang diperintahkan di Jalan Cisanggiri 3 Nomor 11. Lalu, saya dan Yusuf menuju lokasi sekitar jam 12.00 siang. Sampai di sana, dengan HP Yusuf, kami foto dan video alamat tersebut, alamat Yunarto. Setelah itu foto dan video dari HP Yusuf dikirim ke saya lalu saya kirim ke Armin. Lalu dijawab, 'mantap'," ungkap dia.