5 Keterangan Saksi Agus Maksum dalam Sidang MK, Sempat Debat dengan Hakim

Saat memberikan keterangan, Agus Maksum sempat berdebat dengan hakim MK.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 20 Jun 2019, 15:32 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2019, 15:32 WIB
Sidang Sengketa Pilpres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari kubu pemohon Prabowo-Sandiaga sudah selesai digelar.

Saksi yang pertama kali memberikan keterangan dalam sidang MK adalah Agus Maksum. Dia merupakan bagian dari tim capres yang khusus meneliti dan memberi masukan kepada KPU soal daftar pemilih tetap (DPT) di tingkat nasional. DPT yang disebutnya, khusus mengenai yang invalid atau tidak benar.

Pria bernama lengkap Agus Muhammad Maksum itu berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur. Saat memberikan keterangan, Agus Maksum sempat berdebat dengan hakim MK.

Debat itu terjadi saat saksi Agus mencontohkan soal salah satu nama Udung yang termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Saat itu Hakim Aswanto meminta Agus membeberkan salah satu contoh KTP palsu yang dia peroleh.

Selain itu, Agus Maksum sempat mengaku mendapat ancaman pembunuhan terkait DPT.

Berikut keterangan saksi Agus Maksum dari kubu pemohon Prabowo-Sandiaga dalam sidang MK dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

1. Mengaku Dapat Ancaman Pembunuhan

Kesibukan Tim Hukum Jokowi dan Prabowo Jelang Sidang MK
Suasana jelang sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6/2019). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam sidang di MK, Rabu, 19 Juni 2019, saksi yang bernama lengkap Agus Muhammad Maksum, dari Sidoarjo, Jawa Timur menjelaskan, dia merupakan bagian dari tim capres yang khusus meneliti dan memberi masukan kepada KPU soal daftar pemilih tetap (DPT) di tingkat nasional. DPT yang disebutnya, khusus mengenai yang invalid atau tidak benar.

Hakim Aswanto kemudian memberi pertanyaan apakah dia mendapat ancaman? Agus lalu menjawab mendapat ancaman tersebut, namun mengaku tidak bisa menjelaskannya.

Agus mengatakan, dia ancaman pembunuhan pernah diterima keluarganya sehingga tidak mau menyampaikan detailnya.

"Kapan diancam? tanya hakim yang dijawab saksi pada awal April 2019.

Hakim Aswanto kemudian bertanya, ancaman tersebut diterima sebelum atau ketika menjadi saksi sidang sengketa Pilpres 2019 di MK.

"Tidak, berkaitan DPT," kata Agus.

Hakim lalu mempertanyakan mengapa saksi yang mendapat ancaman pembunuhan tidak melapor kepada aparat keamanan. "Ini diancam keselamatan jiwa dan serius, kenapa tidak lapor?" tanya hakim

"Kami anggap tim kami bisa mengamankan, mengamankan saya maksudnya," jawab saksi.

Saksi mengatakan, ancaman ini diketahui oleh sebagian tim Prabowo-Sandi. Salah satunya adalah adik Prabowo, Hashim Djojohadukusumo.

"Saya tidak perlu sebutkan semuanya. Salah satunya Hashim Djojohadikusumo," kata saksi Agus.

Ketika ditanya mengapa menutupi pihak lain yang tahu ancaman ini, saksi enggan membeberkan. "Saya tidak menutupi," kata dia.

Tim Prabowo Sandiaga, Bambang Widjojanto kemudian mengusulkan supaya nama-nama saksi yang tahu ditulis dalam kertas saja karena saksi merasa ketakutan.

"Kemarin sudah dijelaskan majelis, tidak ada seorang pun yang merasa tertekan yang beri keterangan di MK. Anda tertekan?" tanya hakim Aswanto kepada saksi.

"Bukan, tapi ini berkaitan dengan nama orang, kecuali satu nama yan saya sebut," kata saksi yang juga mengaku tidak mendapat tekanan dalam sidang di MK.

"Tidak ada maksud tekan, kita ingin cari kebenaran materil, sebenar benarnya subtantif, saudara sudah angkat sumpah beri keterangan sebenar benarnya. Saya harap Pak Agus bisa menerangkan apa yang saudara alami, dengar dengan sebenar benarnya sebab kalau Anda menyampaikan tidak benar, MK dalam putusannya bisa keliru," kata dia.

Hakim pun menjelaskan, bila saksi memberi keterangan tidak sebenarnya maka ada ancaman penjara 7 tahun. "Ini untuk saksi-saksi lainnya juga. Kami atur agar saksi lain tidak mendengar keterangan saksi lainnya," tandas Hakim Aswanto.

 

2. Sebut Ada 17,5 Juta DPT Bertanggal Lahir Sama

Saksi Ahli KPU Terangkan Sistem Situng di Sidang Sengketa Pilpres
Majelis hakim memimpin sidang sengketa Pilpres 2019 Gedung MK, Jakarta, Kamis (20/6/2019). Sidang beragenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Saat sidang MK, saksi Agus membeberkan, selama mendata, dia menemukan ada 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 yang memiliki tanggal lahir yang sama.

Kejanggalan ini, kata Agus sudah dia sampaikan ke KPU. Namun, KPU menyebut itu adalah hal yang wajar.

Sebab, kata Agus, menurut KPU jika ada penduduk yang tak tahu tanggal lahirnya maka akan diberi tanggal lahir pada 1 Januari atau 31 Desember.

"Alasan itu kami terima, tapi kami permasalahkan jumlahnya yang banyak," kata Agus.

Bahkan, kata Agus, ada TPS yang DPT-nya memiliki 200 orang dengan tanggal lahir sama.

Selain itu, kata Agus, pihaknya juga menemukan ada 1 juta DPT yang tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), padahal setelah dicek ke Dukcapil, mereka memiliki KK dan NIK.

 

3. Sebut Temukan 17,5 Juta DPT Invalid

4 Saksi Fakta dari Jawa Tengah Bersaksi di Sidang Sengketa Pilpres
Majelis hakim mendengarkan keterangan saksi fakta Pemohon dalam dalam sidang sengketa Pilpres 2019 di MK, Jakarta, Rabu (19/6/2019). Keempat saksi memberi kesaksian terkait sengketa Pilpres 2019 untuk wilayah Jawa Tengah. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Agus Maksum, saksi pertama yang dihadirkan Tim Hukum Prabowo-Sandiaga, membuka kesaksian di hadapan hakim majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dengan persoalan 17,5 juta data pemilih yang diyakininya invalid.

Angka tersebut bersumber pada beberapa hal, seperti jumlah daftar pemilih tetap (DPT), nomor NIK penduduk, angka kelahiran yang janggal, dan kartu keluarga (KK) yang disebutnya manipulatif.

"Jumlahnya yang khusus pada 17,5 juta ini invalid di 5 provinsi ditemukan lebih dari sejuta, tapi KPU menyampaikan data 17,5 juta itu data valid," kata Agus.

Padahal menurut Agus, sesuai konsultasi yang dilakukan bersama dinas kependudukan sipil, temuan Agus tersebut mendapat penegasan bahwa seharusnya temuan tersebut ditolak dalam sistem yang masuk ke dalam daftar pemilih.

"Jadi DPT ini terus berubah-ubah, harusnya 17 Maret sudah ditetapkan tapi tak jelas, KPU hanya mengoreksi via discalimer saja," klaim keterangan saksi.

Selain itu, menurut saksi Prabowo itu, dalam DPT 17,5 juta itu juga terdapat pemilih yang ternyata di bawah umur dan berusia lebih lanjut. Namun menurut Agus, KPU hanya memberikan penjelasan salah input.

"Jadi penjelasannya KPU setelah kami mengecek, KPU merevisi hal itu salah input data," jelas Agus.

Kemudian, Agus mengutip salah satu link berita yang dikatakan salah satu komisioner KPU, Viryan Aziz. Menurut Agus, Viryan mengakui telah melakukan salah hitung dari temuannya.

"Itu memang ada (kekeliruan), tapi jumlahnya tidak signifikan. Dan ini kekeliruan terkait pengetikan dan bisa dibuktikan nanti, akan kami sampaikan pastinya," ujar Viryan pada 12 Maret 2019.

 

4. Temuan Dugaan KTP dan KK Manipulatif

Ilustrasi foto E-KTP
Ilustrasi foto E-KTP

Saksi Agus menuturkan temuan KTP palsu dan Kartu Keluarga (KK) manipulatif. Dia mengatakan, ada temuan KTP palsu yang jumlahnya mencapai 1 juta.

Agus mengaku, pihaknya mengecek langsung ke Ditjen Dukcapil mengenai temuan kode depan nomor induk kependudukan (NIK) KTP yang diduga palsu.

"Apakah benar kode 60 itu asli, beliau (Dirjen Dukcapil) bilang tidak usah masukkan sistem karena itu sudah palsu," kata saksi Agus menjawab pertanyaan hakim Aswanto di sidang MK, Selasa (19/6/2019).

Dia mengaku, jumlah jumlah KTP palsu tersebut didapatnya dari DPT HP1 dan dan DPT HP2. "Karena ini palsu saya tidak cek orang, tapi cek ke Dukcapil. Dan konfirm tidak tidak ada," kata saksi .

"Ada tidak sampel warga KTP palsu ini masuk DPT? tanya hakim MK. "Ada, DPT HP2 yang kami laporkan, rinciannya kami tidak rekap, kami total 1 juta," kata dia.

Hakim lalu bertanya, bagaimana mengetahui total, kalau tidak direkap? cara apa yang saudara gunakan? tanya hakim.

"Dari total jumlah kami bikin kriteria, dan KTP palsu kami sebut invalid 2, invalid 3, dan invalid 4 dan ada lebih 1 juta. karena yang kami laporkan 17 juta, di antaranya ada invalid 2, invalid kode propinsi," kata Agus.

Saksi juga mengatakan, ada temuan KK manipulatif. Ada 1 KK, isinya lebih 1.000 orang. "Kami laporkan ada 117.333 KK di Majalengka, Magelang, Banyuwangi, dan Bogor. Di Bogor kami lapor ke Bawaslu," kata dia.

Dia menyebut, KK manipulatif ini nomor KK nya tidak valid. Nomor KK pertama menunjukkan wilayah Bogor, tapi 6 berikutnya tidak menunjukkan apa apa karena 0. "Mestinya angka terakhir tanggal di mana KK dicatat," kata dia.

Saksi pun menyebut, KK manipulatif ini didapatnya dari DPT HP2. Temuan tersebut kemudian dilaporkan ke KPU.

"Penjelasannya KPU, salah input dan diperbaiki tidak menyeluruh, lainnya kami gak tahu, selain yang viral saja. Lalu kami cek lapangan, ke kota Bogor dan ke rumah Pak RT setempat," kata dia.

Hakim Aswanto kemudian mengatakan bertanya, apakah orang yang di KK yang diteliti dan disebut invalid menggunakan hak pilih?

"Kan siluman, tidak ada," kata dia.

"Dari sekian itu gunakan hak pilih?" tanya hakim lagi. "Tidak tahu," kata dia.

 

5. Debat soal Sosok Udung

Sidang Sengketa Pilpres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Perdebatan terjadi di persidangan Sengketa Pilpres 2019 di MK. Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan Saksi Pemohon, Agus Muhammad Maksum.

Adapun perdebatan itu terjadi saat Saksi mencontohkan soal salah satu nama Udung yang termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Saat itu Hakim Aswanto meminta Agus membeberkan salah satu contoh KTP palsu yang dia peroleh.

"Misalnya nama Udung, dia ada di Bandung tanggal lahir 01 01 44, alamat Pangalengan," ujar Agus.

Agus lantas menjelaskan soal kode 10 yang ada di KTP. Dia menyebut kode tersebut palsu. Kode tersebut menjelaskan asal provinsi di Indonesia.

"Jadi ini kami membaca data di DPT HP, kami yakin ini tidak akan ada di dunia nyata. Di dunia nyata kami tidak akan temukan," kata Agus.

"Maksudnya dunia nyata?" Aswanto kembali menanyakan.

"Maksudnya apakah namanya Udung punya KTP 10, kami pasti tidak menemukan, tidak ada provinsi berkode 10," kata Agus

"Kami meyakini Pak Udung ini tidak memiliki kode 10, kalau ada pasti aneh," dia melanjutkan.

Agus kembali menjelaskan soal kode ID mulai dari Kartu Keluarga, Nomor Induk Kependudukan yang jelas menyebutkan nama, tanggal lahir, dan alamat Udung. Meski demikian, Hakim tetap mencecar Agus.

"Berarti ada di dunia nyata?" tanya Aswanto

"Tidak ada," jawab Agus.

"Loh bagaimana tidak ada?" tanya Aswanto lagi.

"Nanti kami buktikan di saksi berikutnya," ujar Agus menimpali.

Sementara itu, pihak Termohon dalam hal ini KPU menanyakan kembali soal sosok misterius Udung. Bermula ketika majelis hakim memberikan kesempatan kepada pihak Termohon untuk bertanya hal-hal faktual kepada Saksi Agus.

Pihak Termohon yang diwakili Hasyim Asy'ari menanyakan data-data yang disebut pihak Saksi sebagai dokumen manipulatif dan siluman. Hasyim lantas menanyakan prosedur Saksi dalam mengecek temuan dokumen palsu dan siluman.

"Saudara mengetahui by name, itu orangnya ada atau tidak? Seperti Udung tadi," tanya Hasyim, Rabu (19/6/2019).

Agus lantas menjelaskan bahwa dia dan timnya tidak mengecek langsung alamat Udung seperti yang tertera di dokumen kependudukan. Namun, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

"Yang itu, kita ceknya Dukcapil bahwa nomor itu tidak ada," ujar Agus.

Namun, penjelasan itu justru langsung ditimpali oleh Hakim I Gede Dewa Palguna, "Jawab singkat saja, pak," tegas Palguna.

"Sudah diingatkan oleh majelis saudara cukup menjawab apa yang ditanyakan penanya," ujar Palguna.

Agus kembali menjelaskan soal Udung dan proses verifikasi lapangan. Sebab, di awal Agus memastikan bahwa Udung tidak ada di dunia nyata, sementara yang terbaru Agus menjawab tidak tahu saat disinggung apakah dipastikan Udung tersebut datang ke TPS saat pemungutan suara.

"Pasti tidak hadir karena tidak ada," kata Agus.

"Tidak, yang saudara ketahui?" tegas Palguna.

"Ya tidak tahu," jawab Agus.

"Semula anda sebut tidak ada di dunia nyata, kemudian anda bilang tidak tahu," kata Palguna menegaskan

"Sebentar, saya agak bingung yang mulia," ujar Agus lagi.

Palguna lantas kembali meminta kejelaskan Agus soal Udung, apakah Saksi tidak tahu atau tidak ada di dunia nyata soal sosok Udung ini.

"Saudara mau gunakan yang mana?" kata Palguna.

"Tidak tahu," jawab Agus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya