Liputan6.com, Jakarta - Tok! Tok! Tok! Tiga kali hakim Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengetuk palu setelah membacakan amar putusannya atas Anggoro Widjojo.
Putusan yang ditunggu-tunggu setelah molor 2,5 jam dari jadwal. Bagaimana tidak, kasus ini menjadi sorotan setelah Anggoro sempat bertahun-tahun buron.
Tepat pukul 12.30 WIB, majelis hakim membacakan putusannya atas bos PT Masaro Radiokom itu.
Advertisement
Anggoro Widjojo divonis pidana 5 tahun penjara siang itu, Rabu 2 Juli 2014. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 250 juta subsider 2 bulan kurungan.
"Mengadili, menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 250 juta kepada terdakwa. Apabila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan 2 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Nani Indrawati di PN Tipikor, Jakarta.
Majelis hakim menilai, Anggoro terbukti bersalah melakukan suap dalam proyek revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan. Anggoro menyuap sejumlah anggota DPR periode 2004-2009.
"Pemberian kepada anggota DPR merupakan tindak pidana," kata majelis hakim.
Tak cukup menyuap anggota dewan, Anggoro Widjojo juga menyuap mantan Menteri Kehutanan MS Kaban dan beberapa pejabat Kemenhut pada periode 2004-2009.
"Meskipun MS Kaban membantah telah menerima pemberian dan Anggoro tidak mengakui suara telepon, menurut ahli, hasil analisis suara Anggoro dengan MS Kaban tersebut identik," ucap majelis.
Suap diberikan berkaitan dengan lolosnya rancangan pagu bagian anggaran 69 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Kemenhut yang di dalamnya terdapat anggaran revitalisasi SKRT.
Perbuatan melanggar hukum itu terdapat dalam dakwaan primer, yakni Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum bersalah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer," ujarnya.
Sejumlah hal yang memberatkan bagi Anggoro yakni perbuatannya bertentangan dengan upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, melarikan diri ke luar negeri untuk menghindar dari tanggung jawab hukum atas perbuatannya, serta berbelit-belit memberikan keterangan sehingga mempersulit jalannya persidangan.
"Hal meringankan, terdakwa telah berusia lanjut dan menderita sakit," kata dia.
Vonis Anggoro Widjojo itu sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK, hanya berbeda soal hukuman subsider. Yakni lima tahun penjara serta denda senilai Rp 250 juta subsider kurungan selama empat bulan.
Sogok Miliaran Rupiah dan Dolar Singapura
Majelis hakim yakin Anggoro menyogok dengan uang Rp 210 juta dan Rp 925 juta, SGD 220 ribu, SGD 92 ribu, dan USD 20 ribu ribu, serta dua buah elevator berkapasitas masing-masing 800 kilogram seharga USD 50,581.
Suap ini terkait dengan persetujuan DPR tentang Rancangan Pagu Bagian Anggaran Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan senilai Rp 4,2 triliun yang diajukan oleh Departemen Kehutanan. Revitalisasi SKRT senilai Rp 180 miliar termasuk dalam rancangan anggaran itu.
Guna memuluskan niatnya, Anggoro meminta anak buahnya, Putranefo, supaya mendekati Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandjojo Siswanto, Kasubag Sarana Khusus Biro Umum Dephut Joni Aliando, Kabag Perlengkapan Biro Umum Dephut Aryono, serta Sekretaris Jenderal Dephut, Boen Mukhtar Poernama, supaya mau mengajukan rancangan anggaran pengadaan SKRT dan menunjuk PT Masaro Radiokom sebagai pelaksana pengadaan SKRT.
Dia memberikan iming-iming uang kepada para pejabat itu.
"Sebagai tanda terima kasih, terdakwa memberikan uang senilai Rp 20 juta dan USD 10 ribu kepada Wandjojo serta USD 20 ribu untuk Boen," ujar hakim.
Atas usulan Wandjojo, MS Kaban menetapkan PT Masaro Radiokom sebagai pemenang penyedia barang jasa pekerjaan peluasan jaringan SKRT melalui surat No.S.384/Dephut-II/2007 tertanggal 12 Juni 2007.
Anggoro pun menjanjikan sejumlah uang jika Yusuf berhasil meloloskan anggaran. Pada 16 Juli 2007, Yusuf mengesahkan Rancangan Pagu Bagian Anggaran Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam lembar pengesahan. Lembar pengesahan diteken oleh H. M.S. Kaban, S.E, M.Si selaku Menteri Kehutanan saat itu.
Karena Yusuf berhasil meloloskan anggaran, Anggoro lantas menepati janji. Dia memberikan sejumlah uang kepada Yusuf yang diantar oleh anaknya, David Angka Wijaya, melalui Tri Budi Utami di ruang sekretariat Komisi IV DPR.
Uang itu kemudian dibagikan kepada sejumlah anggota Komisi IV saat itu. Yakni Suswono (Rp 50 juta), Muchtaruddin (Rp 50 juta), dan Muswir (Rp 5 juta).
Pada November 2007, Yusuf kembali menerima sejumlah uang dari Anggoro. Duit itu dibagikan kepada sejumlah anggota Komisi IV saat itu, yakni Fachri Andi Laluasa (SGD 30 ribu), Azwar Chesputra (SGD 5 ribu), Hilman Indra (SGD 140 ribu), Muchtaruddin (SGD 40 ribu), dan Sujud Sirajuddin (Rp 20 juta).
Anggoro juga terbukti membelikan dua buah elevator atas permintaan MS Kaban. Elevator itu dibeli buat dipergunakan di dalam gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, yang juga sempat dipakai sebagai tempat kegiatan Partai Bulan Bintang, di mana Kaban menjabat Ketua Umum PBB. Kaban juga terbukti menerima uang sogok dari Anggoro sebesar USD 45 ribu, Rp 50 juta, dan SGD 40 ribu.
"Terdakwa terbukti memberikan sejumlah uang kepada saksi M.S. Kaban, pejabat Kementerian Kehutanan, dan dua buah elevator," kata Hakim Anggota Ibnu.
Menurut Hakim Ibnu, di persidangan Anggoro boleh saja menyangkal memberi apapun kepada Kaban. Tetapi menurut dia, penyangkalan tanpa alasan patut dengan jelas mengungkap perbuatan Anggoro telah jelas memberi uang dan barang kepada Kaban.
"Penyangkalan tersebut haruslah dikesampingkan," ujar Hakim Ibnu.
Hakim Ibnu melanjutkan, dalam persidangan Kaban juga menyangkal keterangan terdakwa dan saksi-saksi lain. Tetapi menurut dia hal itu hanyalah upaya keduanya buat menghindar dari perbuatannya dan pertanggung jawaban hukum.
"Karena keterangan keduanya tanpa didukung alat bukti apapun, maka patut dikesampingkan," ucap Hakim Ibnu.
Selepas pembacaan putusan, Anggoro menyatakan menerima vonis hakim. 'Saya menerima," ujar Anggoro. Sementara Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum, Riyono, menyatakan pikir-pikir.
Advertisement
Sempat Buron
Licin bagai belut. Lima tahun, Anggoro Widjojo buron. Dia diciduk di China pada Januari 2014. Dia ditangkap penyidik KPK yang bekerja sama dengan pihak Imigrasi Indonesia dan Kepolisian Zhenzhen, China.
Anggoro kemudian langsung diterbangkan ke Indonesia dari Guangzho pukul 16.00 waktu setempat, Kamis 30 Januari 2014.
Setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, sekitar pukul 22.30 WIB, Anggoro langsung diboyong menggunakan mobil.
Salah satu penumpang pesawat Garuda Indonesia yang terbang dari Guangzho mengatakan, kalau dia sempat 1 pesawat dari sekompok orang yang terlihat seperti petugas keamanan.
"Di pesawat tadi ada beberapa orang dari bajunya orang Imigrasi sama kepolisian," kata penumpang yang enggan disebutkan namanya itu di Bandara Soetta, Cengkareng, Kamis.
Penumpang itu juga mengatakan, ketika mendarat, ada 1 orang yang dikawal ketat saat turun dari pesawat. "Saya enggak ngeh itu Anggoro. Tapi dia dikawal ketat sama petugas yang tadi saya lihat di pesawat," ujarnya.
"Begitu turun, mereka langsung masuk mobil. Dijemput pakai mobil, saya juga nggak engeh mobil apa, pokoknya 1 mobil," beber dia.
Anggoro menjadi buron KPK sejak 2009. Dia tersangkut kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu Kementerian Kehutanan. Sebagai bos PT Masaro, Anggoro diduga menyuap 4 anggota Komisi IV DPR, yakni Azwar Chesputra, Al-Amin Nur Nasution, Hilman Indra, dan Fachri Andi Leluas, dengan harapan bersedia mendorong pemerintah menghidupkan kembali proyek SKRT.
PT Masaro Radiokom merupakan rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan SKRT 2007 yang nilai proyeknya mencapai Rp 180 miliar.