Liputan6.com, Jakarta - Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar, Liberti Sitinjak, menyebut ada gejala perubahan orientasi seksual para narapidana. Mereka jadi penyuka sesama jenis. Hal ini akibat dari banyaknya narapidana yang melebihi kapasitas rutan dan lapas.
"Dampaknya munculnya homoseksualitas dan lesbi," ujar Liberti usai acara pembekalan terhadap petugas di SOR Arcamanik, Kota Bandung, Senin (8/7/2019).
"Setidaknya gejala itu ada. Bagaimana seseorang sudah berkeluarga, masuk ke lapas, otomatis kan kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan. Jadi, gejala itu ada," ucap dia.
Advertisement
Data Kemenkumham Kanwil Jabar di wilayah Jawa Barat menyebutkan, terdapat 40 unit pelayanan teknis (UPT) pemasyarakatan yang terdiri dari 32 lapas dan rutan, satu LPKA, empat bapas dan tiga rupbasan.
Sementara, ada 23.861 orang yang saat ini mendekam di rutan dan lapas. Mereka terdiri dari 4.587 tahanan dan berstatus napisebanyak 19.274 orang.
Dari jumlah itu, yang terjerat kasus pidana umum sebanyak 11.775 orang, sedangkan untuk jenis pidana khusus 12.086 orang.
Liberti mengaku tidak bisa menyebutkan lokasi lapas dan jumlah napi yang orientasi seksualnya berubah.
"Tidak etis kalau saya buka," lanjutnya.
Hal yang dikhawatirkan, hal ini bisa menular tak hanya antarnapi. Kapasitas berlebih ini pun bisa mempengaruhi pada kualitas kesehatan penghuni dan petugas lapas.
"Pengamatan saya, homoseksual ini jadi menular dan ini kerja besar kami bagaimana mengatasi dampak-dampak dari over kapasitas ini," katanya.
"Dengan kondisi seperti ini, pembinaan juga tidak efektif," ucapnya.
Perlunya Bilik Asmara
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Ade Kusmanto, menilai perlu adanya pengkajian mengenai bilik asmara di lembaga pemasyarakatan (lapas). Ia menilai hal itu perlu dilakukan kajian secara mendalam supaya tidak menjadi solusi yang responsif semata.
"Perlu dikaji dulu, baik dari pandangan hukum, sosial, budaya , keamanan dan ketertiban," kata Ade saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Menurut dia, saat ini tidak ada aturan hukum yang mengatur mengenai pengadaan bilik asmara untuk narapidana di lapas.
"Tidak ada, karena belum ada regulasi yang mengatur hal tersebut," kata Ade.
Ade juga menerangkan bahwa prilaku seks menyimpang di kalangan napi tersebut diakibatkan oleh berlebihannya napi yang menghuni lapas-lapas di wilayah Jawa Barat. Bukan hanya prilaku Lesbian Gay Transgender dan Biseksual (LGBT) saja, kelebihan kapasitas napi, kata Ade juga menyebabkan berbagai tindak pidana.
"Overcrowded lapas dan rutan menimbulkan pelbagai permasalahan baru seperti perkelahian massal mengakibatkan kerusuhan, peredaran narkoba, penularan penyakit menular, dan bahkan penyimpangan seksual," terangnya.
Saat ini, kata Ade, lapas di Jabar hanya mampu menampung napi sebanyak 15 ribu saja. Namun faktanya, jumlah napi di sana mencapai 23 ribu jiwa.
"Over kapasitas kurang lebih 52 persen," ujarnya.
Bukan hanya dikarenakan over kapasitas, prilaku seks penyuka sesama jenis juga disebabkan oleh masa tahanan yang lama dari sebagian napi di sana.
"Munculnya permasalahan disorientasi seksual narapidana karena akibat hukuman yang lama, sementara kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi didalam lapas /rutan," jelas Ade.
Namun begitu, Ade menyampaikan bahwa pihak Ditjen Pas telah berupaya menanggulangi hal itu dengan berbagai pembinaan. Mulai dari pembinaan yang bersifat rohani hingga ragawi, seperti pembinaan kesehatan.
"Telah mengantisipasi melalui pemberian pembinaan kepribadian, melalui pembinaan keagamaan, penyuluhan hukum dan penyuluhan kesehatan serta pembinaan kemandirian dengan pemberian keterampilan kepada narapidana," terang Ade.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Bukan karena Over Kapasitas?
Pakar hukum Margarito Kamis mengatakan mereka yang ditemukan berprilaku menyimpang harus diobati.
"Itu penyimpangan, kok. Orang gay kan penyimpangan. Mana ada orang laki-laki dengan laki-laki baku hantam", kata Margarito kala dihubungi Liputan6.com, Jakarta (9/7/2019).
Menurut pengajaran Universitas Khairun Ternate itu, alasan yang membuat mereka menjadi penyuka sesama jenis karena lapas yang melebihi kapasitas kurang beralasan.
"Kalau gara-gara itu, kenapa di luar lapas ada gay, bagaimana Anda menjelaskan?" tanyanya.
Menurut dia, hal itu hanya upaya pengembangan opini ke masyarakat supaya masyarakat secara perlahan menerima perilaku seks sesama jenis tersebut.
"Itu kan acara agar gay-gay ini bisa diterima dalam sistem hukum kita, kan. Kan, ada wacana agar LGBT itu diakui dalam Republik ini. Ini, kan, cara bertahan agar mendapatkan pengakuan besar itu," tegasnya.
Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga ikut prihatin. Ia menilai bahwa hal itu merupakan masalah besar yang penanganannya perlu diperhatikan secara serius.
"Hal ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, Menteri Hukum dan HAM. Jika dibiarkan ini akan melahirkan kemunduran dalam peradaban manusia Indonesia," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Menurut Abdul, lembaga pemasyarakatan yang over kapasitas akan membuka peluang berbagai tindak pidana terjadi di sana. Hal ini dapat membuat tujuan dari lapas sebagai tempat pembenahan individu kehilangan maknanya.
"Secara sosiologis akan banyak hal terjadi. Selain maraknya perbuatan yang melanggar hukum yang tidak sesuai dengan SOP LP. Bahkan, LP bisa juga dijadikan tempat melakukan tindak pidana, menjadi tempat meracik narkoba dan sebagainya," kata Abdul.
Yang membuat Abdul semakin khawatir adalah ketika dia mengetahui fakta banyaknya napi yang mengidap penyimpangan seksual di lapas yang kelebihan kapasitas. Terbatasnya ruang untuk hidup, kata dia, menjadi salah satu pemicu napi berperilaku menyimpang.
"LP yang kelebihan (kapasitas) bisa menyuburkan LGBT karena terbatasnya ruang untuk hidup, sehingga interaksi antarnapi bahkan sewaktu tidur yang berimpit langsung atau tidak langsung pada saatnya melahirkan banyak LGBT," ucapnya memungkasi.
Diidentifikasi
Berbeda dengan pakar hukum, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyarankan supaya pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berhati-hati menanggapi temuan banyak narapidana yang berorientasi seks penyuka sesama jenis.
Menurutnya, Kemenkumham mesti dengan teliti mengidentifikasi apakah napi-napi tersebut benar-benar gay dan lesbi atau justru hanya hasrat seksual sesaat saja.
"Kemenkumham harus berhati-hati dalam merespons soal lapas over capacity dengan napi yang gay dan lesbian. Apakah mereka memang gay dan lesbian atau sekedar memenuhi hasrat seksual mereka," kata Ulung kala dihubungi Liputan6.com, Jakarta (9/7/2019).
Ulung memandang terdapat perbedaan antara penyuka sesama jenis dengan yang hanya melampiaskan hasrat seksualnya saja. Menurutnya, mereka yang berorientasi seks sesama jenis walaupun sudah keluar dari sel penjara akan tetap dengan orientasi seksualnya tersebut.
Berbeda dengan mereka yang hanya ingin memenuhi hasrat seksualnya. Prilaku gay dan lesbian mereka akan hilang seiring adanya lawan jenis.
"Gay dan Lesbian itu orientasi seksual, sementara pemenuhan hasrat seksual itu tidak selalu berhubungan dengan orientasi seksual atau bahasa lainnya hasrat sesaat saja," terang Ulung.
Advertisement