Perlawanan Terhadap Rezim Orba dan Lahirnya AJI 25 Tahun Lalu

AJI lahir tidak lama setelah pemerintah memberedel tiga media massa pada 1994.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 07 Agu 2019, 07:31 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2019, 07:31 WIB
Demo Tolak Kekerasan terhadap Wartawan
Seorang wartawan membentangkan poster saat aksi solidaritas tolak kekerasan terhadap jurnalis di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemberedelan media massa yang dilakukan rezim orde baru (orba) memaksa wartawan muda Indonesia melakukan perlawanan. Melalui penandatanganan 'Deklarasi Sirnagalih', Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir pada 7 Agustus 1994 atau 25 tahun lalu di Bogor, Jawa Barat.

AJI merupakan organisasi profesi jurnalis alternatif di luar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebab saat itu PWI dianggap menjadi alat kepentingan pemerintahan Soeharto dan tidak betul-betul memperjuangkan kepentingan jurnalis.

Dikutip dari berbagai sumber, AJI didirikan tidak lama setelah pemberedelan tiga media massa yakni tabloid DeTik, Tempo, dan Editor pada 21 Juni 1994. Pemberedelan tersebut membantu menciptakan momentum yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif.

Tindakan rezim orba membungkam kebebasan pers itu justru membangkitkan semangat jurnalis muda mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam, yakni membentuk wadah pewarta yang independen ditandai penandatanganan 'Deklarasi Sirnagalih'.

Sirnagalih diambil dari nama desa di Bogor, Jawa Barat tempat pertemuan para jurnalis muda berlangsung. Wisma Tempo di Sirnagalih dipilih sebagai lokasi pertemuan karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa dijamin keamanan dan kerahasiaannya.

Memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan tempat untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintahan orde baru. Undangan disampaikan secara diam-diam.

Bahkan undangan palsu pun diedarkan, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, Jawa Barat. Akibatnya, sejumlah jurnalis salah informasi dan datang ke tempat yang salah.

Pertemuan digelar dengan elemen utama jurnalis dari empat kota yakni Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini.

Untuk menghindari politisasi dan kabar miring, maka para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri diminta tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh jurnalis muda sedang berlangsung.

Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus 1994, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu.

Deklarasi Sirnagalih pun diteken sekaligus menandakan kelahiran Aliansi Jurnalis Independen atau AJI.

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

Reaksi Pemerintah

20160503-Hari-Pers-Internasional-Jakarta-IA
Massa Aliansi Jurnalis Independen membentangkan spanduk saat melakukan aksi di Jakarta, Selasa (3/5). Aksi tersebut diadakan dalam rangka peringatan World Press Freedom Day 2016. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Lahirnya AJI tentu memicu reaksi pemerintah. Apalagi keberadaan AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik Indonesia.

Tekanan terhadap para jurnalis yang terang-terangan bergabung dalam AJI sangat besar. Pemerintah melalui Departemen Penerangan dan PWI melihat berdirinya AJI sebagai tantangan terbuka, yang harus ditindak keras agar tidak meluas. Berbagai tindakan 'pendisiplinan' melalui pemimpin di media masing-masing pun dilakukan.

Ada anggota yang dipindahkan ke bagian Litbang, dimutasi ke luar Jakarta, ditekan supaya mundur dari AJI atau minta maaf, dan sebagainya. Intinya, karier jurnalistik bagi anggota AJI praktis sudah ditutup, karena saat itu untuk menjadi pemimpin redaksi (Pemred) harus memperoleh rekomendasi PWI.

Dalam hal ini, PWI dinilai telah bertindak terlalu jauh. Bahkan pimpinan PWI dalam forum terbuka yang dikutip media pernah mengatakan, media massa tidak boleh mempekerjakan anggota AJI.

Beberapa jurnalis juga diberhentikan dari keanggotaan PWI lantaran aktif di AJI. Mereka yang dipecat antara lain, Fikri Jufri, Eros Djarot, Hasudungan Sirait, Diah Purnomowati, dan Stanley Adi Prasetyo.

Bahkan tak sedikit anggota AJI yang dipaksa mundur dari perusahan media massa tempatnya bekerja. Alasannya, mereka dapat membahayakan kelangsungan perusahaan karena aktivitasnya di organisasi yang berseberangan dengan pemerintah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya