Perppu KPK, Golkar: Tekan Presiden dengan Demo Rusak Demokrasi

Golkar menilai, upaya penekanan elemen masyarakat terhadap Jokowi tidak dibenarkan konstitusi.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 13 Okt 2019, 21:44 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2019, 21:44 WIB
Mahasiswa Demo di DPR Blokade Tol Dalam Kota
Massa mahasiswa memblokade Tol Dalam Kota saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR/ MPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa menuntut penolakan atas pengesahan sejumlah RUU kontroversial tersebut diwarnai aksi bakar sejumlah kardus di tol dalam kota. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Politikus Partai Golkar Firman Soebagyo meminta Presiden Joko Widodo tidak ditekan untuk mengeluarkan Perppu KPK. Firman mengatakan, semua pihak harus memahami proses bernegara sesuai konstitusi.

"Bernegara itu kan punya aturan. Aturannya adalah aturan hukum, itu lah bentuk kehadiran negara untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan masalah tata kelola pemerintahan dan negara. Itu fungsinya DPR. Nah, kalau semua konstitusinya dipenuhi maka silakan rakyat itu tidak bisa menggunakan pola-pola penekanan-penekanan yang di luar sistem," ujar Firman kepada wartawan, Minggu (13/10).

Revisi UU KPK akan otomatis menjadi undang-undang pada 16 Oktober mendatang. Sementara itu, banyak pihak yang tidak setuju, meminta Jokowi segera mengeluarkan Perppu KPK.

Firman mengatakan, kalau permintaan tersebut dituruti maka hanya akan terjadi parlemen jalanan. Wakil Ketua Baleg saat revisi UU KPK dijalankan itu bilang lebih baik menempuh jalur Mahkamah Konstitusi.

"Karena kalau itu dituruti maka ini akan menjadi parlemen jalanan. Oleh karena itu daripada koridor konstitusi itu adalah menggugat di Mahkamah Konstitusi," ucapnya.

Firman menilai, upaya penekanan elemen masyarakat kepada Jokowi itu tidak dibenarkan konstitusi. Dia menilai tidak tepat presiden ditekan dengan demo untuk keluarkan Perppu KPK.

"Kalau semuanya kemudian diobrak-abrik dengan cara tekanan-tekanan demo-demo begini, ya tentunya tidak tepat, ini akan merusak sistem demokrasi kita," jelas Firman.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Gugat ke MK

Jelang Sidang Pembacaan Putusan, Penjagaan Gedung MK Diperketat
Personel Brimob berjaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (25/6/2019). Jelang sidang pembacaan putusan akan digelar pada Kamis (27/6), sekitar 47.000 personel keamanan gabungan akan disiagakan di Ibu Kota DKI Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

"Itu adalah pressure yang inkonstitusional itu adalah melanggar UU. Oleh karena itu koridornya adalah silakan nanti ketika sudah 30 hari, otomatis jadi UU maka silakan menggugat (ke MK). Presiden kan juga dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan UU ini direvisi kan ada masukan-masukan dari rakyat," imbuhnya.

Firman juga menjelaskan poin revisi UU KPK, terkait penyadapan yang diatur dalam UU KPK yang baru harus izin dari dewan pengawas. Menurut Firman, hal itu agar fungsi penyadapan KPK tidak dijadikan alat politik.

"Contohnya ketika (mantan ketua KPK) Abraham Samad melakukan penyadapan Pak Budi Gunawan, ternyata kan dia punya interest mau jadi wakil presiden. Dan ketika dia nggak jadi wakil presiden, maka sadapannya Pak Budi dibuka kemana mana. Nah ini yang nggak boleh," jelasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya