Liputan6.com, Jakarta - Komisi II DPR RI akan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendukung revisi tersebut.
"Kami dukung. Kami sudah membuat DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) baik untuk UU 7 maupun UU 10," kata Anggota Bawaslu Ratna Dewi Petalollo di Central Park, Jakarta Barat, Kamis (28/11/2019).
Dia mengatakan, untuk masalah Pilkada, DIM yang diajukan ialah terkait status panitia pengawas dan waktu penanganan pelanggaran Pemilu. Dia ingin, waktu penanganan pelanggaran di UU Pilkada selama 5 hari harus disamakan dengan UU Pemilu yaitu 14 hari.
Advertisement
"Waktu ini juga akan mempengaruhi kualitas pemeriksaan. Karena penanganan pelanggaran apalagi pelanggaran tindak pidana Pemilu itu kan membutuhkan waktu yang cukup untuk melakukan pembuktian," ucapnya.
Menurutnya, pembuktian pelanggaran salah satu tahapan yang paling penting. Sebab, Bawaslu harus mendapatkan kualitas pembuktian terkait memidanakan seseorang dan tidak boleh ada kesalahan.
"Itu (UU 10/2016) kami minta diselaraskan dengan UU 7/2017 jadi 14 hari kerja," kata dia.
Selain itu, ada beberapa norma yang perbuatannya diatur pada UU Pilkada tapi sanksi pidananya tidak ada. Seperti misalnya penggunaan fasilitas negara untuk tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
"Itu beberapa hal yang akan kami ajukan perubahannya," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Larang Eks Napi Maju di Pilkada
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengungkapkan alasan pihaknya tetap ngotot melarang eks koruptor maju dalam Pilkada 2020. Menurut Evi, KPU tak ingin kejadian seperti Bupati Kudus dan Tulungagung kembali terulang.
"Kasus Kudus orang yang sudah mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi, apalagi yang di Tulungagung itu masih dalam penjara dan terpilih menang, dan kemudian bukan dia yang menjalankan tugas," kata Evi seperti dilansir dari Antara, Selasa 26 November 2019.
Evi mengaku, khawatir jika tak ada larangan yang mengatur rekam jejak para calon kepala daerah bersaing pada Pilkada 2020.
Oleh karena itu, KPU mencoba memberikan pilihan terbaik kepada pemilih, yaitu calon yang bebas dari rekam jejak buruk, dengan cara membatasi persyaratan calon.
"Kita mencoba memberikan pilihan yang baik, bukan mereka yang melakukan pelecehan seksual anak, kemudian juga bandar narkoba dan mantan koruptor," ucap Evi.
Evi berharap, dengan adanya larangan koruptor maju Pilkada 2020 bisa menghasilkan pemimpin baik, bermoral, dan tidak berperilaku korup.
"Karena di tangan mereka lah kunci pelayanan publik," terang Evi.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement