Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily mengatakan, hampir semua fraksi di Parlemen Senayan tidak setuju usulan pilkada tidak langsung usulan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
"Saya kira di DPR hampir semuanya menyatakan belum ada pikiran buat mereka untuk mengembalikan ke DPRD. Bagi kami sekali lagi sebagai representasi dari kekuatan politik yang ingin menunjukkan kedaulatan rakyat, harus kembali pada rakyat," kata Ace dalam diskusi politik bertemakan 'Ancaman Pilkada TIdak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki' di Hotel Ibis, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (8/12/2019).
"Kami konsisten dengan itu (pikada langsung)," tegas Ace.
Advertisement
Ace menilai, demokrasi Indonesia saat ini berada di jalur yang benar. Jika pilkada langsung masih ditemukan kekurangan, harusnya bisa dievaluasi dan diperbaiki.
"Saya kira bukan berarti kemudian kita mengorbankan semangat prinsip kedaulatan, maka jalan terbaik adalah bagaiman kita menciptakan agar ekses yang dinilai bermasalah dicarikan jalan keluarnya," jelas Ace.
Baca Juga
Ace menyatakan, sikap Golkar dalam pilkada tertuang dalam pidato Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto saat pembukaan Munas Golkar 2020.
Dalam pidatonya ketika itu, Airlangga menyebut bahwa proses rekrutmen kepala daerah untuk pilkada ditentukan lewat kapasitas kader dan bukan besarnya biaya politik yang menyokong dana kampanye.
"Partai Golkar dalam Pilkada 2020 itu akan meniadakan mahar politik. Itu beliau (Airlangga) kakatan beberapa kali dan berulang kali," kata Ace.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Usulan Mendagri
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian meminta sistem pilkada secara langsung dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.
"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 6 November 2019.
Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui, ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.
Advertisement