KPU Hormati Putusan DKPP yang Berhentikan Komisionernya

Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat Evi Novida Ginting Malik dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Mar 2020, 20:03 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2020, 20:03 WIB
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi. (Liputan6.com/Yunizafira)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum menghormati putusan DKPP yang memberhentikan dengan tetap Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik. Pada putusan ini, DKPP juga memberi peringatan keras yang terakhir bagi komisioner lainnya.

Namun, KPU tetap akan mempelajari dengan seksama isi putusan yang tercatat pada Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tersebut.

"KPU menghormati putusan DKPP tersebut dan akan mempelajari dengan seksama," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, di Jakarta, seperti dilansir Antara, Kamis (19/3/2020).

Menurut dia, KPU akan mempelajari putusan DKPP untuk mengambil sikap selanjutnya. Putusan DKPP itu dibacakan pada Rabu 18 Maret 2020.

"Untuk melihat berbagai kemungkinan kebijakan yang dapat diambil KPU," ujar Pramono.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Meluruskan

Evi Novida Ginting
Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting jelang memberi keterangan terkait pernyataan sikap KPU RI terhadap putusan DKPP di Gedung KPU RI, Jakarta, Kamis (19/3/2020). Evi Novida Ginting menyatakan keberatan dan akan mengajukan gugatan atas putusan DKPP. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

KPU juga meluruskan pemberitaan di media massa yang menyebutkan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik diberhentikan karena "mengubah hasil pemilu".

"Dalam kasus ini, Evi Novida Ginting Manik sama sekali tidak berinisiatif atau memerintahkan atau mengintervensi atau mendiamkan terjadinya perubahan perolehan suara tersebut," ucap Pramono.

Menurut dia, dalam perkara perselisihan hasil pemilu legislatif untuk Kalimantan Barat itu, terdapat dua putusan yang berbeda dari putusan MK dan Bawaslu.

"Sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait dengan sengketa hasil pemilu, KPU berpandangan bahwa putusan MK yang wajib dilaksanakan," kata Pramono.

Namun, DKPP menyatakan tindakan KPU tidak tepat, dan menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap pada Evi Novida serta peringatan keras terakhir untuk komisioner lainnya.

"Pada perkara ini tidak ada tindakan KPU mengubah perolehan suara hasil pemilu," ujarnya.


Evi Tak Terima

Komisioner KPU Evi Novida Penuhi Panggilan KPK
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menunggu untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/2/2020). Evi diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Saeful Bahri terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih 2019-2024. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Evi Novida Ginting Malik tak terima dipecat dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Evi dipecat dalam sidang etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada, Rabu 18 Maret 2020 kemarin.

"Saya keberatan dengan Putusan DKPP RI Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020," ujar Evi dalam siaran persnya, Jakarta, Kamis (19/3/2020).

Dia menjelaskan, yang menjadi pokok permasalahan sampai sidang etik digelar, lantaran Hendri Makaluasc mengadukannya ke DKPP. Hendri merupakan anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Hendri mengadukan Evi lantaran memiliki penafsiran berbeda dengan Bawaslu atas Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2009. Hendri dan Bawaslu RI memiliki penafsiran yang berbeda dari penafsiran KPU RI dan KPU Kalimantan Barat.

"Dalam putusan ini, DKPP mengambil peran menentukan mana penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang benar," kata Evi Novida Ginting Malik.

Apalagi, menurut Evi, Hendri juga sudah mencabut pengaduan terhadapnya dalam sidang DKPP pada 13 November 2019. Dia mengatakan pencabutan pengaduan disampaikan kepada Majelis DKPP secara langsung dalam sidang dengan menyampaikan surat pencabutan laporan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

"Artinya, DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaan etik secara aktif bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan pelanggaran etik. Pencabutan pengaduan mengakibatkan DKPP tidak mempunyai dasar untuk menggelar peradilan etikdalam perkara ini," kata Evi.

Menurut Evi, pelaksanaan peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh UU 7/2017 kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang pasif.

"Putusan DKPP kepada saya, KPU RI, KPU Kalbar terlalu berlebihan karena sudah tidak ada lagi pihak yang dirugikan," kata dia.

Selain itu, putusan DKPP tersebut menurut Evi tidak melaksanakan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang mewajibkan Pleno pengambilan Keputusan dihadiri paling sedikit 5 orang anggota DKPP. Sedangkan putusan DKPP ini hanya diambil oleh 4 anggota Majelis DKPP.

"Putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan. Atas dasar alasan-alasan diatas, saya akan mengajukan gugatan untuk meminta pembatalan putusan DKPP tersebut," kata Evi Novida Ginting Malik.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya