Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memberhentikan secara tidak terhormat kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Evi Novida Ginting Manik melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) No 34/P Tahun 2020.
Kepres tersebut merujuk pada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No 317-PKE-DKPP/X/2019 yang memutuskan pemberhentian terhadap Evi Novida Ginting karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
"Memberhentikan dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP sebagai anggota Komisi Pemlihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022," bunyi Keputusan Presiden tertanggal 23 Maret 2020, seperti dilihat pada Minggu (29/3).
Advertisement
Pada pertimbangan, Plt Ketua DKPP dengan surat No 012/K.DKPP/PP.00/III/2020 tanggal 18 Maret 2020, mengusulkan pemberhentian dengan tidak terhormat terhadap Evi Novida Ginting berdasarkan putusan DKPP 317-PKE-DKPP/X/2019.
Evi dinilai telah memenuhi syarat untuk diberhentikan dengan tidak terhormat sebagai anggota KPU periode 2017-2022.
"Bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan b perlu menetapkan pemberhentian dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022, dengan keputusan presiden,"
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Evi Keberatan
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)Â Evi Novida Ginting Manik sempat melawan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pemecatannya. Dia mendatangi kantor DKPP hingga bertemu Presiden Joko Widodo karena keberatan terhadap putusan bernomor DKPP 317-PKE-DKPP/2019, pada Senin (23/3/2020).
Evi telah mendatangi DKPP menyampaikan pernyataan keberatan terhadap putusan DKPP. Setelah itu, Evi juga berencana menggugat putusan DKPP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Setelah prosedur administratif dilakukan. Setelah itu ke PTUN," ucap dia, Senin.
Evi Novida Ginting Manik menjabarkan empat poin keberatan terhadap putusan DKPP itu. Pertama, dia keberatan DKPP menilai telah menerima bukti dokumen dan keterangan pengadu. Sebab, kata dia pada persidangan 13 November 2019 dan 17 Januari 2020, majelis sidang DKPP tidak melakukan pemeriksaan terhadap pengadu atas nama Hendri Makaluasc karena pengadu membacakan surat pencabutan laporan.
"Pada sidang tanggal 17 Januari 2020, pengadu (Hendri Makaluasc) maupun pengacaranya tidak lagi menghadiri sidang DKPP. Dengan demikian kesimpulan Majelis DKPP tersebut di atas, tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan, sehingga kesimpulan Majelis DKPP yang dijadikan dasar putusan dalam perkara 317-PKE-DKPP/2019 tidak beralasan hukum," jelas Evi.
Kendati laporan dicabut, DKPP berkukuh menyidangkan perkara karena laporan dugaan pelanggaran etik tidak terikat laporan pengadu. Menurut Evi, ada perbedaan perlakuan DKPP terhadap perkara lain yang dihentikan karena pengadu melayangkan surat pencabutan gugatan.
"Perlakuan yang berbeda ini membuka ruang subjektivitas karena tidak ada aturan dan ukuran yang jelas baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maupun Peraturan DKPP untuk menentukan apakah satu aduan dapat diteruskan atau tidak jika pengadu mencabut aduannya," jelasnya.
Pembacaan putusan DKPP saat itu dinilai tidak memenuhi kuorum karena berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, menyebutkan rapat pleno harus dihadiri tujuh orang anggota DKPP kecuali dalam keadaan tertentu dapat dihadiri minimal lima orang.
Evi mengatakan, dalam putusan DKPP disebutkan bahwa hanya empat orang anggota DKPP yang hadir. "Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan qorum ini mestinya dinyatakan cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," kata dia.
Evi menyoroti pertimbangan DKPP terhadapnya bahwa sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu, memiliki tanggungjawab etik lebih besar. Dia menilai, tuduhan tersebut berlebihan karena pengambilan keputusan di KPU RI secara kolektif kolegial dalam rapat pleno.
Evi mengatakan, tidak ada laporan pengadu maupun fakta persidangan yang spesifik membahas perannya yang disebut mengendalikan dan mengintervensi putusan KPU Kalimantan Barat. Dia mengatakan, supervisi yang dilakukan KPU RI terhadap KPU Kalbar untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XII/2019 demi memberikan kepastian hukum seperti diatur dalam UUD.
"Selanjutnya juga tidak ada bukti perbuatan yang dilakukan, bagaimana melakukan, kapan dilakukan, dimana dilakukan, yang dapat secara nyata menjadi alasan untuk menyatakan bahwa teradu VII secara inperson dapat dikategorikan melakukan perbuatan ketidakadilan yang menyebabkan hasil Pemilu tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya, sehingga tidak cukup alasan hukum untuk membebankan sanksi pemberhentian secara tetap dari anggota kepada teradu VII," tegas Evi.
Sehingga, Evi menilai terdapat cacat prosedur yang dilakukan DKPP baik mekanisme beracara maupun proses pengambilan keputusan. Dia meminta DKPP untuk membatalkan putusan Nomor 317-PKE-DKPP/2019 dan meminta presiden menunda pelaksanaan putusan DKPP tersebut.
Â
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement