Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi titik rawan dalam penggunaan anggaran penanganan virus Corona atau Covid-19. Titik rawan pertama adalah dana untuk pengadaan barang dan jasa.
"Ini sangat rawan untuk itu kami memberikannya perhatian khusus untuk pengadaan barang dan jasa, langkah awal yang kami lakukan berkoordinasi dengan LKPP dan BPKP," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat rapat virtual dengan timwas DPR-RI, Rabu (20/5/2020).
"Prinsipnya adalah tidak boleh ada korupsi tidak boleh ada mark up, feed back, dan juga tidak ada benturan kepentingan di dalam pengadaan barang dan jasa dan juga tidak ada kecurangan," tambah dia.
Advertisement
Selanjutnya, KPK terus mengikuti dan mengawasi sumbangan dari pihak ketiga atau donasi dana penanganan Covid-19. KPK telah membuat surat edaran agar donasi tersebut bisa dipertanggung jawabkan.
Berikutnya, KPK melakukan monitoring terkait refocusing atau realokasi anggaran yang ada di APBD. Kemudian, pengawasan dana dari APBN sebesar Rp 405 triliun untuk pengananan Corona.
"Selanjutnya terkait bantuan sosial safety net, ini pun kami lakukan. Khusus untuk bansos kami dari awal sudah bekerja sama dengan Menteri Sosial, karena menurut kami ada titik rawan," ucap dia.
Firli menambahkan, KPK juga melakukan pendampingan supaya bisa mencegah, menghilangkan unsur-unsur korupsi dan tidak memiliki kesempatan untuk korupsi. KPK saat ini mengembangkan tiga pendekatan dalan pemberantasan korupsi.
Pertama, pendekatan pendidikan masyarakat yang sasarannya agar ada ketidakinginan masyarakat melakukan korupsi. Kedua penekanan pencegahan. KPK terus berupaya memperbaiki sistem sehingga tidak ada peluang dan tidak ada kesempatan bagi orang untuk melakukan korupsi.
"Terakhir law enforcement atau penegakan hukum, tentu ini adalah pendekatan terakhir karena pendekatan pidana," kata Firli.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
KPK: Bencana dan Korupsi Saling Berimpitan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut, penanganan bencana saling berimpitan dengan tindak pidana korupsi. Hal tersebut berdasarkan tindak pidana korupsi yang dilakukan sejumlah pejabat terkait dana bantuan bencana.
Seperti dilakukan mantan Bupati Nias Binahati Benedictus Baeha. Benedictus dijerat dalam kasus dana bantuan bencana tsunami Nias.
Kemudian anggota DPRD Mataram Fraksi Golkar Muhir dijerat dalam kasus korupsi dana bantuan gempa bumi Lombok, serta Bendahara Pembantu Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pascabencana BNPBD Mojokerto Joko Sukartika yang terjerat korupsi dana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang menjerat
"Sehingga kemudian antara bencana dan korupsi di Indonesia berimpitan," ujar Ghufron dalam diskusi virtual, Rabu (20/5/2020).
Ghufron mengungkap empat titik rawan penanganan bencana, yakni pengadaan barang dan jasa, refocusing dan realokasi anggaran pada APBN dan APBD, pengelolaan filantropi atau sumbangan pihak ketiga yang dikategorikan bukan gratifikasi, dan penyelenggaraan bansos.
Terkait pandemi Covid-19, Ghufron mengatakan bahwa lembaganya sudah membuat sistem pencegahan agar korupsi tidak terjadi. Satu di antaranya adalah menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan PBJ (pengadaan barang/jasa) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
"KPKÂ membentuk tim khusus untuk mengawal dan mengawasi proses percepatan penanganan virus Corona (Covid-19) dalam hal penggunaan anggaran untuk PBJ," kata dia.
Dalam kajian yang pernah dilakukan maupun penanganan perkara oleh KPK, ditemukan sejumlah modus dan potensi korupsi dalam PBJ. Di antaranya berupa persekongkolan atau kolusi dengan penyedia barang jasa, menerima uang pelicin (kick back), penyuapan, dan gratifikasi.
"Kemudian benturan kepentingan, perbuatan curang, berniat jahat memanfaatkan kondisi darurat, hingga membiarkan terjadinya tindak pidana," kata Wakil Ketua KPK ini.
Â
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka
Â
Advertisement