HIMSATAKI Minta BP2MI Lakukan Sinkronisasi dengan Kemenaker soal UU Perlindungan PMI

Menurut HIMSATAKI, tak ada salahnya BP2MI melihat dan mencari referensi tentang dokumen-dokumen pembahasan, naskah akademik, atau sistematika undang-undang berkenaan pasal tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Jun 2020, 11:53 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2020, 06:42 WIB
HIMSATAKI
Ketum HIMSATAKI Tegap Hardjadmo. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) meminta Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Ramdhani melakukan sinkronisasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) soal pelaksanaan teknis operasional sistem pelindungan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Sebelumnya, dua asosiasi yakni Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dan Asosiasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (ASPATAKI) mendukung kebijakan Kepala BP2MI Benny Ramdhani, di antaranya melaksanakan amanat UU 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI, khususnya tentang pembiayaan.

Pada Pasal 30 ayat 1 disebutkan, Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan. Sementara ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.

"Sikap kami dari HIMSATAKI bukan tidak mendukung atas kebijakan Kepala BP2MI tersebut, akan tetap hemat kami sebagaimana tertera dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, frasa Pasal 30 adalah ‘cukup jelas’. Hal tersebut bermakna bahwa pembentuk undang-undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh tidak perlu diperjelas lagi karena dianggap sudah jelas," kata Ketum HIMSATAKI Tegap Hardjadmo dalam keterangan tertulis, Selasa 9 Juni 2020.

Namun menurut Tegap, tidak ada salahnya BP2MI melihat dan mencari referensi tentang dokumen-dokumen pembahasan, naskah akademik, atau sistematika undang-undang berkenaan pasal tersebut agar tidak terjadi salah penafsiran atas pasal tersebut.

Dalam penafsiran HIMSATAKI, kata Tegap, UU tersebut secara logika berada dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya, yakni mewujudkan kesatuan yang melahirkan pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Badan yang tujuannya adalah melindungi PMI atau calon PMI dan keluargaya sebagai subjek, dan bukan objek.

"Tidak ada salahnya BP2MI melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan kementerian terkait dalam pelaksanaan dari UU tersebut," tuturnya.

Pihaknya berharap kebijakan yang dikeluarkan dalam penyelengaraan dan pelaksanaan UU tersebut berjalan cepat, berintegritas, netral, transparan dan akuntabel.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Dukung Kebijakan BP2MI

Terkait kebijakan BP2MI yang merujuk Pasal 30 ayat 1 UU tersebut dan telah mendapat dukungan APJATI dan ASPATAKI, kata Tegap, pada prinsipnya HIMSATAKI mendukung. Namun perlu disertai evaluasi dan audit terhadap proses penempatan dan perlindungan yang berjalan saat ini.

Yakni mempertimbangkan bahwa masing-masing negara penempatan memiliki kebijakan yang berbeda terkait pembebanan biaya rekrutmen bagi pemberi kerja serta persaingan dengan negara pengirim lainnya.

"Kedua, jenis jabatan pekerjaan bagi calon PMI yang berbeda struktur biayanya, berbeda antara bekerja kepada perseorangan dan badan hukum, berbeda antara low skill, semi-skilled dan skilled," urainya.

Ketiga, ada transparansi dalam menyusun biaya penempatan sehingga pembebanan biaya kepada siapa pun dianggap adil. "Terakhir, risiko keuangan dalam hal pembebanan biaya," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya