Dewan SDA Nasional Usul UU yang Perbolehkan Warga Boleh Bakar Hutan Direvisi 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 69 mengizinkan masyarakat adat membakar hutan untuk membuka lahan, dua hektar per KK.

oleh Gilar Ramdhani pada 10 Jul 2020, 19:08 WIB
Diperbarui 10 Jul 2020, 19:05 WIB
Padamkan Karhutla
Petugas pemadam kebakaran berupaya melakukan pemadaman di tengah pekatnya asap kebakaran di Kampar, provinsi Riau pada 17 September 2019. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih terjadi membuat sejumlah wilayah di Provinsi Riau terpapar kabut asap. (ADEK BERRY / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Dewan Sumber Daya Air (SDA) Nasional, Bambang Widyantoro mengusulkan aturan perundang-undangan yang memperbolehkan masyarakat adat membakar hutan untuk membuka lahan agar direvisi.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 69 ayat 2 menjelaskan masyarakat adat dengan pertimbangan kearifan lokal boleh membakar dua hektar per KK (Kartu Keluarga).

Menurut Bambang, kondisi pembakaran hutan untuk membuka lahan oleh masyarakat adat jika dalam jumlah kecil mungkin masih bisa dikendalikan. Namun yang terjadi pembakaran hutan tersebut dilakukan oleh banyak masyarakat adat sehingga dampaknya sangat merusak.

"Aturan ini kan diambil dari kearifan lokal, tetapi kalau jumlahnya ribuan masyarakat yang melakukan (pembakaran hutan) dampaknya bisa fatal juga. Maka sebaiknya aturan dalam UU direvisi," ujar Bambang seperti dikuti dari merdeka.com, Selasa (7/7).

Tanpa disadari, pembukaan lahan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas air disekitarnya. Ketika hutan dibabat dan dijadikan lahan terbuka, maka dipastikan banyak masalah yang timbul.

"Kebakaran hutan menyebabkan lahan terbuka, penguapan air tanah ke udara semakin cepat dampaknya kekeringan. Kualitas air pun jadi buruk dan tidak sehat. Air hujan yang jatuh jadi tidak terserah ke tanah akibatnya banjir, belum lagi erosi dan sedimentasi di sungai," ujar Bambang.

Potensi bencana juga besar jika hutan dibabat. Banjir longsor dan kekeringan bisa mengancam.

"Hal ini yang selalu kita sampaikan agar pembukaan hutan itu tidak sembarangan. Pembabatan hutan tanpa kajian itu sangat berbahaya," terangnya.

 

Dorong Pemanfaatan Kayu-Kayu Hutan

Terkait banyak perusahaan besar yang diberi izin mengelola ratusan bahkan ribuan hektar lahan, Bambang mengatakan pihaknya terus gencar melakukan sosialisasi kepada Pemda, pengusaha, dan pengusaha hukum terkait aturan pembukaan lahan.

Menurut Wakil Ketua Bidang Produksi Hutan Alam, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia ini, seharusnya yang dilakukan oleh perusahaan besar ketika diberi hak pengelola lahan adalah memanfaatkan kayu-kayu hutan tersebut. Selama ini kata Bambang, hutan dibabat lalu kayu kayu tersebut dicacah atau bahkan ditumpuk begitu saja. Padahal kayu kayu itu memiliki nilai ekonomis tinggi.

"Tetapi memang mengeluarkan kayu-kayu tersebut juga membutuhkan biaya besar sehingga banyak pengusaha yang menumpuk begitu saja atau mencacah kayu untuk kemudian ditimbun. Padahal kayu itu bisa dimanfaatkan sebenarnya, tetapi ya itu biayanya terlalu besar," terangnya.

 

Rekomendasi Dewan SDA Nasional Hadapi Karhutla

Seperti diketahui kebakaran hutan dan lahan (karhutla) cukup besar sudah terjadi di Provinsi Riau sejak tanggal 1 Juli 2020. Bahkan sejak Januari-April 2020 sudah ditengarai banyak titik api di Sumatera dan Kalimantan. Mempertimbangkan hal tersebut, Dewan SDA Nasional tengah menyiapkan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

"Saat ini pentingnya air untuk mencegah dan mengatasi karhutla kita mulai masukkan dalam rekomendasi. Sebelumnya rekomendasi Dewan SDA Nasional dalam menghadapi kekeringan hanya mengkaji pentingnya air untuk ketersediaan pangan, air minum, perkotaan, dan lingkungan hidup," kata Indro Tjahyono dari Pansus Konservasi.

Potensi karhutla memang diawali dengan mengeringnya lahan gambut akibat kekurangan air di musim kemarau. Sehingga mudah menjalar jika terjadi kebakaran yang disengaja atau tidak disengaja.

Kebakaran gambut (peat fire) dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik karakteristik gambut maupun cuaca yang berkorelasi dengan kadar air gambut, tingkat dekomposisi gambut, tinggi muka air, maupun curah hujan. Semakin tinggi kadar air gambut maka semakin rendah laju pembakaran. Tingkat kematangan gambut juga mempengaruhi tingkat kemudahan terbakarnya lahan gambut.

Menurut Indro, curah hujan berpengaruh pada tinggi muka air lahan gambut, sementara tinggi muka air akan mempengaruhi kadar air gambut yang menentukan sensitivitas gambut terhadap api atau suhu tinggi.

"Kondisi seperti inilah yang harus dipertahankan pada saat kekeringan," ujar Indro.

Indro menegaskan bahwa masalah kebakaran hutan ini harus ditangani dengan serius, karena sudah masuk ranah politik dan hubungan internasional.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya