Liputan6.com, Jakarta Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo mengatakan, guru berisiko terpapar virus Covid-19, jika sekolah di zona kuning dibuka kembali. Hal ini tentu akan mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan nyawa.
"Kesehatan dan keselamatan nyawa guru juga terancam ketika sekolah dibuka kembali di zona kuning," kata Heru dalam keterangannya, Senin (10/8/2020).
Dia menyebut, guru berhak mendapatkan perlindungan atas kesehatannya, serta keselamatannya. Sehingga, benar-benar harus dijauhkan dari resiko tertularnya Covid-19.
Advertisement
"Dalam kondisi seperti ini guru juga memiliki hak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan dalam bekerja. Poin ini terkandung di dalam Permendikbud No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan terhadap Tenaga Pendidik dan Kependidikan di Satuan Pendidikan," ungkap Heru.
Dia juga berpandangan, SKB 4 Menteri pada Juni yang lalu, tidak hanya menjaga anak murid dari virus Covid-19, tapi guru juga. Salah satu contohnya, SD bisa dibuka di zona hijau 2 bulan setelah SMP/SMA.
Tapi dalam SKB 4 Menteri yang baru, SD diperkenankan dibuka bersamaan dengan SMP/SMA di zona kuning. "Padahal secara usia, justru anak SD belum memahami risiko dan kesadaran akan kesehatan yang baik," tegas Heru.
Selain itu, menurutnya, SKB 4 Menteri sebelumnya banyak dilanggar oleh Pemda. dan anehnya tak ada sanksi dari pusat kepada daerah yang melanggar aturan tersebut.
"Padahal 79 daerah ini sedang mempermainkan kesehatan dan nyawa anak bersama guru" tukasnya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
163 Daerah
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebut, ada 163 daerah zona kuning yang bisa melakukan kegiatan sekolah tatap muka. 163 yang menjadi zona bersiko rendah tersebut merupakan data per 2 Agustus 2020.
"Kalau kita lihat peta per 2 Agustus 2020, ada 163 zona kuning, yang kiranya nanti ini akan bisa dilakukan kegiatan belajar tatap muka," kata Doni dalam diskusi virtual Kemendikbud penyesuaian kebijakan pembelajaran di masa pandemi Covid-19, Jumat (7/8/2020).
Meski diperbolehkan oleh pusat, kebijakan itu juga dikembalikan kepada kepala daerah setempat yang paling mengetahui kondisi daerahnya.
"Artinya, keputusan untuk memulai sekolah atau belajar tatap muka juga dikembalikan kepada daerah. Para bupati, para wali kota, dan gubernur, karena para pejabat itulah yang paling tahu situasi di daerah masing-masing," ujar dia.
Doni mengharapkan, sebelum dimulai belajar tatap muka ada kegiatan simulasi dan pra kondisi. Sehingga, ketika sekolah dimulai, segala risiko yang mungkin terjadi telah diperhitungkan.
"Nantinya diharapkan seluruh pengambil kebijakan di daerah mampu melakukan berbagai macam tahapan, mulai sosialisasi, melibatkan seluruh komponen yang ada, termasuk tokoh-tokoh yang ada di daerah, juga para ulama, juga budayawan, dan tokoh-tokoh baik formal maupun nonformal lainnya, sehingga program-program yang diberikan kepada daerah untuk dimulai itu betul-betul bisa efektif," tandas Doni.
Advertisement