Special Content: Kebakaran Gedung Jadi Alat Ukur Pembuktian Komitmen Kejaksaan Agung

Spekulasi yang beredar, kebakaran yang terjadi di gedung utama Kejaksaan Agung merupakan sabotase untuk menghilangkan berkas perkara kasus-kasus besar.

oleh Jonathan Pandapotan PurbaWindi Wicaksono diperbarui 28 Agu 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2020, 12:00 WIB
Kebakaran Gedung Bisa Jadi Pembuktian Integritas Kejaksaan Agung (Liputan6.com / Abdillah)
Kejaksaan Agung (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jalan Sultan Hasanuddin Dalam No. 1, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terbakar, Sabtu (22/8/2020) malam. Api diperkirakan menyala pada pukul 19.10 WIB di Gedung Utama Kejaksaan Agung.

Asal mula api diduga dari lantai enam gedung tersebut. Kemudian, api terus merambat sampai lantai di bawahnya, yakni sampai lantai dua. Setelah 12 jam menyala, api baru bisa dipadamkan pada Minggu (23/8/2020) pukul 06.00 WIB.

Sebanyak 65 unit mobil dan lebih dari 230 personel dikerahkan dalam penanganan kebakaran gedung Kejagung. Ruang Jaksa Agung ST Burhanuddin ikut terbakar dalam peristiwa itu.

Sementara lantai enam Gedung Kejagung yang terbakar merupakan bagian kepegawaian dan juga kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan. Kantor dari Jaksa Agung Muda Intelijen yang berada di lantai tiga dan empat pun hangus dilalap api. Insiden kebakaran itu tidak memakan korban jiwa ataupun korban luka.

Yang jadi sorotan khusus malah ikut terbakarnya ruangan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kejadian itu. Pinangki adalah jaksa yang terjerat kasus dugaan suap perkara Djoko Tjandra.

Hal ini memicu spekulasi dan asumsi bahwa ada unsur sabotase dalam kebakaran Gedung Kejaksaan Agung. Kebakaran disinyalir sengaja dilakukan untuk menghilangkan berkas perkara kasus terkait.

Kasus-Kasus Besar

Kejaksaan Agung saat ini memang sedang menangani kasus-kasus besar di antaranya, kasus Djoko Tjandra, yang merupakan terpidana kasus korupsi Bank Bali pada 1999, di mana kasus ini turut menjerat Jaksa Pinangki yang diduga menerima suap.

Terdapat pula kasus korupsi Jiwasraya yang masih ditangani Kejaksaan Agung. Kasus besar lainnya yakni TPPU Danareksa Sekuritas dan korupsi impor tekstil yang melibatkan eks pejabat Bea Cukai.

Kebakaran gedung Kejaksaan Agung bukan hanya memicu spekulasi adanya sabotase untuk penghilangan berkas perkara. Peristiwa ini juga dapat menghambat kinerja Korps Adhyaksa dalam penanganan kasus-kasus besar itu.

Indonesian Corruption Watch (ICW) curiga mengenai adanya potensi kesengajaan untuk menghilangkan barang bukti terkait perkara, yang tengah ditangani Kejagung, salah satunya kasus Jaksa Pinangki.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, meminta KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bersama polisi ikut menyelidiki penyebab kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung. Hal tersebut tak lain sebagai pembuktian bahwa kebakaran itu murni tidak disengaja atau kelalaian, bukan direncanakan oleh pihak tertentu.

"Atau bahkan ada oknum tertentu yang menginginkan beberapa berkas penanganan perkara atau kasus-kasus korupsi yang terkait dengan oknum Kejaksaan Agung dihentikan, karena kurangnya bukti-bukti yang akibat kebakaran tersebut, musnah dilahap api," kata Kurnia Ramadhana kepada Liputan6.com.

"Kalau ada pihak tertentu yang merencanakan terbakarnya gedung Kejaksaan Agung ini, maka orang tersebut dapat dikenai sanksi pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun."

Pakar hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, menyebut kecurigaan masyarakat soal adanya sabotase di Kejagung merupakan hal yang wajar. Ia pun berharap Korps Adhyaksa bisa menjawab kecurigaan tersebut.

"Cara menjawabnya, pertama dengan membuktikan bahwa penyebab kebakaran karena kesalahan mekanik atau ketidaksengajaan. Jadi, harus ada jawaban yang konkret yang menyebabkan kebakaran tersebut," kata Suparji kepada Liputan6.com.

Yang kedua, kata Suparji, harus dijawab dengan kerja nyata. Menurut dia, kecurigaan orang-orang bahwa kebakaran dalam rangka menghilangkan berkas Jaksa Pinangki atau Djoko Chandra akan lenyap kalau proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.

"Ketiga harus dijawab dengan mekanisme pengusutan fakta secara independen dan transparan supaya tidak menimbulkan kecurigaan, karena selama ini sering kali muncul kecurigaan terhadap kebakaran. Ada sesuatu yang mengiringi di balik itu, tapi faktanya tidak pernah terbukti," ujarnya.

Suparji menjelaskan, jika sampai ada alat bukti yang hilang atau terbakar, maka ia berharap Kejagung bisa menemukannya lagi.

"Tidak ada penghentian sebuah kasus karena kebakaran. Penghentian hanya bisa karena SP3, kadaluarsa, tersangka meninggal dunia, atau tidak cukup alat bukti. Nanti tinggal dilihat cukup alat bukti cukup atau tidak, tapi alat bukti kan bisa dicari atau ditemukan lagi. Kalau sampai nanti kasus itu dihentikan karena alasan terbakar, jadi benar kecurigaan masyarakat, itu akan jadi persoalan yang sangat serius," paparnya.

Simak Video Kejaksaan Agung Berikut Ini

Jangan Berspekulasi

Menko Polhukam Mahfud Md
Menko Polhukam, Mahfud Md. (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Sebanyak 24 kamera pengawas (CCTV) yang berada di dalam Kompleks Kejaksaan Agung dan di sekitar wilayah tersebut sudah diamankan Mabes Polri. Hal itu demi mengumpulkan bukti-bukti penyebab kebakaran Gedung Kejagung dan diteliti oleh tim Laboratorium Forensik Polri.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, meminta masyarakat tidak berspekulasi soal kejadian kebakaran gedung Kejaksaan Agung, yang turut menghanguskan ruang kerja Jaksa Pinangki.

Mahfud juga menegaskan, berkas perkara kasus Djoko Tjandra yang melibatkan Jaksa Pinangki dan kasus Jiwasraya tidak ikut terbakar dalam kejadian tersebut. Selain itu, menurutnya, 25 tahanan di rutan Kejagung juga selamat dan sekarang ditahan di kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Senada dengan Mahfud, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setiyono, mengajak masyarakat tidak berspekulasi dan percaya kepada Polri untuk mengusut tuntas penyebab kebakaran gedung utama Kejagung.

"Silakan curiga, tapi harus ada dasarnya. Apa yang ngomong itu tahu tentang gedung itu? Gedung itu menyimpan berkas perkara, enggak?" kata Hari Setiyono.

"Gedung ini itu hanya untuk pembinaan, kaitannya dengan kepegawaian, kemudian intelijen, intelijen hanya secara administrasi. Data yang dihebohkan itu, tidak di sini, ada di tempat lain. Alat (bukti) juga ada di tempat lain," terang Hari.

Hary menekankan, untuk data buronan dan orang asing juga masih aman dan tidak ada masalah akibat kebakaran ini. Bahkan, Kejagung memiliki back up data di Kejari dan Kejati, sehingga dia meminta masyarakat tidak usah ragu.

Di sisi lain, menurut Aktivis ICW, Donal Fariz, kasus-kasus besar di Kejagung itu menjadi alat ukur untuk menguji benar atau tidaknya teori sabotase kebakaran gedung kali ini. "Kalau logikanya sabotase itu dilakukan untuk menutupi perkara, maka itu akan berdampak pada kasus-kasus itu akan mandek atau tidak berkembang," ujarnya.

Bukan Kebakaran Pertama

Gedung Kejaksaan Agung yang Terbakar
Kondisi gedung utama Kejaksaan Agung yang terbakar di Jakarta, Minggu (23/8/2020) (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelum tahun ini, gedung Kejaksaan Agung pernah terbakar dua kali yakni pada 1979 dan 2003. Pada 9 Januari 1979, gedung Kejagung terbakar disebabkan korsleting listrik, yang membuat bagian kanan kantor bertingkat enam itu hangus terbakar.

Dalam kejadian kala itu, ruang bidang intelijen, operasi, tempat rapat, dan Biro Perencanaan Kejaksaan Agung menjadi ruangan-ruangan yang ikut terbakar.

Sementara pada 2003, terjadi dua kali kebakaran di Gedung Korps Adhyaksa itu yakni pada Sabtu 22 November 2003 sekitar pukul 6.15 WIB di lantai dua dan bisa dipadamkan. Lalu kebakaran kedua pada pukul 11.50 WIB di lantai tiga.

Namun, kejadian pada 5 Juli 2000 patut mendapat perhatian, karena ada fakta menarik tersembunyi. Saat itu, tim Gegana Polri menemukan bom seberat 2 kilogram buatan Pindad di kamar mandi lantai II Gedung Bundar Kejaksaan Agung, yang bisa meledak kapan saja dan punya daya ledak sangat besar.

Ketika bom itu ditemukan, sejumlah jaksa tengah memeriksa mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin dan Dirut PT Era Giat Prima, Djoko Tjandra, sosok yang pada akhir Juli 2020 baru ditangkap polisi usai menjadi buronan terpidana kasus Bank Bali, yang mencuat sejak 1999.

Mereka kala itu diperiksa Kejagung sebagai saksi kasus Gubernur Bank Indonesia (nonaktif) Syahril Sabirin, serta FX Soedjasmin dalam kasus penyalahgunaan dana reboisasi. Pemeriksaan Djoko Tjandra saat itu akhirnya dihentikan dan ditunda untuk diteruskan di lain hari.

Menanti Pembuktian Kejaksaan Agung

Melihat dari udara kondisi Gedung Kejagung RI usai Terbakar
(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kejaksaan Agung telah menjamin kebakaran ini tidak akan mengganggu proses penanganan kasus-kasus korupsi besar yang tengah mereka tangani. Menko Polhukam Mahfud MD menyebut telah dibentuk tim gabungan yang terdiri dari Bareskrim Polri dan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung untuk penyelidikan penyebab kebakaran.

Kriminolog Universitas Indonesia, Ferdinand Andi Lolo, menyarankan semua pihak untuk menunggu laporan lengkap Tim Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri. Pria yang juga mantan anggota Komisi Kejaksaan menilai tak baik jika ada buruk sangka.

"Dari pengalaman saya sendiri, saya 12 tahun di Kejaksaan Agung, jadi desas-desus di masyarakat (soal sabotase) itu tidak benar. Karena gedung utama yang terbakar itu tidak menangani perkara, yang menangani perkara itu adalah gedung pidana khusus dan gedung tindak pidana umum. Gedung ini berbeda dengan gedung utama yang terbakar," kata Ferdinand kepada Liputan6.com.

Ia juga yakin semua berkas atau alat bukti kejaksaan soal kasus-kasus yang sedang ditangani, termasuk kasus Jaksa Pinangki, tidak hilang karena kebakaran yang terjadi.

"Ini sudah zaman teknologi. Semua data penting di kejaksaan, termasuk penanganan perkara, itu ada backup-nya. Mereka punya pusat backup di Ceger."

"Jaksa Pinangki juga tidak menangani perkara, jadi bukan jaksa di gedung bundar yang terbakar. Dia jaksa yang menangani administrasi dan sumber daya manusia, jadi tidak ada hubungannya dengan perkara. Jadi kalau dibilang (kebakaran) karena ada Jaksa Pinangki di situ, fantasi yang terlalu liar," ucap pria lulusan The University Of Auckland tersebut.

Namun, ICW punya pandangan lain mengapa publik bisa meragukan komitmen Kejaksaan Agung dalam menangani perkara suap Jaksa Pinangki terkait kasus Djoko Tjandra. Ada tiga indikator versi ICW yang menyebabkannya.

"Yang pertama ada pernyataan dari komisi kejaksaan, yang terlihat tidak cukup dibuka akses untuk memeriksa jaksa pinangki. Yang kedua, sempat ada keluar pedoman pemeriksaan jaksa harus seizin jaksa agung. Yang ketiga kejaksaan agung sempat ingin memberikan bantuan hukum kepada Jaksa Pinangki," terang Kurnia Kurnia Ramadhana.

Selain tiga indikator itu, Kurnia berpendapat, teman-teman di Kejaksaan Agung belum membuka akses kepada KPK untuk menelusuri perkara tersebut lebih jauh. Menurutnya, penanganan lebih baik ditunjukkan Bareskrim Polri, yang mengundang KPK untuk melakukan gelar perkara bersama.

"Untuk kasus kebakaran ini, harapan kami kejaksaan bisa kooperatif, transparan, dan membuka akses kepada siapapun yang ingin menyelidiki terbakarnya gedung utama agar publik dapat melihat bagaimana sebenarnya kasus ini, agar tidak lagi dikait-kaitkan dengan terbakarnya berkas-berkas penanganan perkara di internal Kejaksaan Agung," tuturnya.

INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Deretan Kasus Besar yang Sedang Ditangani Kejagung (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Kasus Besar yang Sedang Ditangani Kejagung (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya