Perhimpunan Guru Soal RUU Cipta Kerja: DPR Lagi Prank Dunia Pendidikan

Satriawan Salim mengatakan, merasa kecewa dengan disahkannya RUU Cipta Kerja yang masih menyisakan pasal untuk memberi jalan luar dilakukannya komersialisasi pendidikan.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 06 Okt 2020, 11:49 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 11:20 WIB
FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja. Sebab, UU tersebut masih menyisakan pasal yang memberi jalan dilakukannya komersialisasi pendidikan.

Pasal 26 Ayat 2 menyatakan "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah", yang dinilainya ini bermuatan kapitalisasi pendidikan dalam RUU Cipta Kerja yang baru disahkan.

"Artinya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan," kata Satriawan dalam keterangannya, Selasa (6/10/2020).

Kemudian, ada Pasal 4 yang terdapat frase "perizinan berusaha", yang dinilainya RUU Cipta Kerja telah melegalkan dan mengarahkan pendidikan dalam industri.

"Jelas sekali pendidikan direduksi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi. Masih bertahannya pasal yang akan menjadi payung hukum kapitalisasi pendidikan, menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan prank (lelucon) terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan," ungkap Satriawan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Semakin Mahal

Satriawan menilai, dengan hal ini, maka pendidikan akan semakin mahal.

"Pendidikan nanti semakin berbiaya mahal, jelas-jelas akan meminggirkan anak-anak miskin, sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak akan pernah terjadi. Yang muncul adalah pendidikan bukan lagi sebagai aktivitas peradaban, melainkan semata-mata aktivitas mencari untung atau laba," kata dia.

Karenanya, jalan terakhir yang dilakukan adalah membawa undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jalan terakhir sebagai upaya penolakan UU ini adalah masyarakat sipil dan para pegiat pendidikan khususnya dapat membawa UU ini ke MK untuk uji materil," Satriawan menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya