Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 Gelorakan Arek Suroboyo Usir Penjajah

Resolusi Jihad ini menimbulkan semangat perjuangan umat. Mereka tak gentar sedikitpun menghadapi Inggris yang memenangkan pertempuran dalam Perang Dunia II.

oleh Yopi Makdori diperbarui 22 Okt 2020, 07:30 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2020, 07:30 WIB
Hari Pahlawan - KH. Hasyim Asya'ri (Liputan6.com/pool/GerakanPramuka)
Hari Pahlawan - KH. Hasyim Asya'ri (Liputan6.com/pool/GerakanPramuka)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari sebelum berkobar perang rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu pada 10 November 1945, Presiden Sukarno menyambangi Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Ia akan menemui Kiai Haji Hasyim Asy’ari untuk membicarakan keresahannya atas kedatangan tentara sekutu di bawah Komando Inggris yang diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Kehadiran pasukan Sekutu di Indonesia itu berdalih ingin mengambil alih kekuasaan dari Jepang, namun sebenarnya mereka berhasrat kembali menjajah Tanah Air.

Sebagai pemimpin, saat itu Sukarno dihadapkan pada situasi pelik. Di mana bangsanya yang baru berdiri belum genap dua bulan sudah dirongrong kembali oleh kedatangan penjajah.

Seperti dikisahkan Ki Setyo Oetomo Darmadi, adik pahlawan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Soepriyadi, Bung Karno menemui pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) itu ditemani Residen Jawa Timur, Soedirman. Dalam perjumpaan bersejarah di Pondok Pesantren Tebu Ireng itu, kedua pemimpin membahas situasi politik terkait kedatangan pasukan

“Kiai, dipundi (bagaimana), bahasa Bung Karno, Inggris datang niku (itu), gimana umat Islam menyikapinya?“ tanya Sukarno kepada Hasyim Asy’ari yang dituturkan oleh Ki Darmadi, dilansir dari NU Online, Rabu 10 Oktober 2020.

Mendapat pertanyaan itu, ulama yang akrab dipanggil Mbah Hasyim itu menjawab dengan tegas. “Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah) untuk NKRI, ini perintah perang!” tegas Mbah Hasyim.

Sukarno saat itu menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan yang tidak bisa diremehkan, terlebih KH Hasyim Asy’ari merupakan figur yang sangat disegani para kiai dan santri se-Jawa dan Madura.

"Beliau juga menjadi komandan spiritual Laskar Hizboellah yang dikomandani oleh para kiai dan beranggotakan para santri," tulis Kartika Pemilia Lestari yang dikutip dari di Insists.id.

Pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Tanjung Priok, Jakarta, 29 September 1945. Mereka mendarat menggunakan kapal penjelajah Cumberland yang terdiri dari tiga divisi tentara Sekutu. Pertama 23th Indian Division, yang dikomandoi Mayor Jenderal D.C. Hawthron untuk Jawa Barat. Kemudian 5th Indian Division di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk Jawa Timur, dan ketiga 26th Indian Division yang berada di bawah komando Jenderal H.M. Chambers untuk daerah Sumatera.

Kedatangan mereka tak lama diikuti oleh kehadiran Gubernur Jenderal Van Mook pada 5 Oktober 1945, bertepatan pada saat terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Kembalinya penjajah ke Tanah Air pada awalnya tak disambut perlawanan yang berarti dari rakyat Indonesia. Kala itu, Ibu Pertiwi masih seumur jagung.

Akhirnya, seperti yang disebutkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid Kedua, dalam Rapat Wakil 2 Daerah (Konsoel 2) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 mengajukan 'Resolusi Jihad' pada Pemerintah Republik Indonesia.

Resolusi Jihad itu menyerukan dua agenda sebagai berikut:

Pertama memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya.

Kedua supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat 'sabilillah' untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Resolusi Jihad NU menggelorakan semangat jihad di kalangan umat Islam waktu itu. Para ulama, pemuda serta Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia yang dipimpin Bung Tomo, kemudian berinisiatif membentuk organisasi kesenjataan untuk mendapatkan persenjataan dari bala tentara Jepang.

Suryanegara menerangkan, waktu itu markas-markas Jepang di Bandung, Garut, Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang diserang oleh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pasokan persenjataan guna melawan Sekutu bersama NICA. Bahkan Laksamana Shibata Yaichiro, seorang panglima senior Jepang yang memihak kepada Republik Indonesia lebih memilih membukakan pintu gudang persenjataan Jepang kepada para pemuda Indonesia.

Meskipun pada akhirnya, Laksamana Shibata Yaichiro menyerah ke Belanda namun sebelumnya telah meminta pasukannya untuk menyerahkan semua senjata ke rakyat Indonesia. Tentara Sekutu pun lantas meminta rakyat Indonesia agar menyerahkan seluruh senjata itu kepada pihak Sekutu.

"Namun Bung Tomo beserta Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia memerintahkan agar tak meladeni arahan sekutu tersebut," tulis Mansur Suryanegara dalam bukunya, Api Sejarah Jilid Kedua.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Tak Gentar Lawan Sekutu

Mansur Suryanegara mengungkapkan, semangat jihad yang tumbuh di tengah-tengah umat kala itu begitu luar biasa. Mereka tak gentar sedikit pun kendati Inggris baru saja memengkan pertempuran dalam Perang Dunia II dan Perang Asia Timur Raya melawan Jepang. Mereka tak takut untuk melawan meskipun persenjataan Sekutu canggih sementara para pemuda hanya berbekal bambu runcing.

"Tekad yang meluap semakin bangkit dan berubah menjadi kekuatan yang tak kenal rasa takut, setelah para ulama membangun Lasjkar Sabilliah, mendampingi Lasjkar Hizboellah (tentara Allah) ikut serta terjun memimpin pertempuran dalam Perang Kemerdekaan. Gugur dalam pertempuran melawan imprealis diyakini sebagai mati syahid, kematian yang indah menuju Firdaus dan memperoleh ampunan dari Allah Swt," tulis Suryanegara.

Pakar Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad) itu berkali-kali menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran religi bangsa Indonesia. Utamanya saat munculnya Resolusi Jihad dari NU yang notabene ormas keagamaan di Indonesia. "Semangat agama dipandangnya membangkitkan keberanian untuk berjuang di tengah cengkraman rasa takut," kata dia.

Bung Tomo amat memahami hal ini. Berangkat dari Resolusi Jihad yang telah dicetuskan NU, ia pun membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan gema takbir yang mengudara melalui radio ke seantero Surabaya pada 10 November 1945.

"Muhammad Natsir menjelaskan mengapa Bung Tomo harus memberikan takbir Allahu Akbar dalam menutup pidato di Radio Pemberontakan. Jawabnya karena Bung Tomo memahami siapa yang tepat menjadi teman dalam membela Tanah Air dan bangsa serta agama dari ancaman tentara Sekutu dan NICA," kata Mansur.

Dia juga mengungkapkan, atas Resolusi Jihad NU dan seruan takbir Bung Tomo memantik semangat para santri serta ulama untuk menjegal kembalinya penjajahan di Tanah Air. Hadirnya Kiai Haji Hasyim Asy’ari, KH Asjhari dan Kiai Toenggoel Woeloeng dari Yogyakarta, KH Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, dan KH Moestafa Kamil dari Partai Serikat Islam Garut untuk berjuang melawan penjajah, turut memancing ulama lain dan para santri merapatkan barisan melawan penjajahan.

"Kehadirannya membangkitkan para ulama untuk berpartisipasi dalam Barisan Sabilillah, bersama pemuda dan santri yang tergabung dalam Gerakan Pemoeda Islam Indonesia dan Lasjkar Hizboellah, bertujuan menghadang pendaratan tentara Sekutu dan NICA yang akan menegakkan kembali penjajahan di Indonesia," jelas Suryanegara.

Ia menyebut, pengaruh Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 begitu luar biasa, di mana bisa memobilisasi para ulama dan Barisan Sabililah untuk bergandengan bersama TKR, Lasjkar Hizboellah dan para santri mematahkan serangan Sekutu di Surabaya. Ujungnya, mereka berhasil membunuh Brigjen Mallaby pada 31 Oktober 1945.

"Suatu prestasi perang kemerdekaan yang luar biasa," sebut Suryanegara.

Ia menyatakan bukan tanpa sebab perjuangan para santri dan ulama di Surabaya itu disebut prestasi yang luar biasa. Pasalnya Tentara Sekutu Inggris tak pernah kehilangan perwira tingginya dalam Perang Dunia II.

"Namun baru sebulan setelah pendaratannya ke Tanah Air, mereka kehilangan perwira tingginya," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya