Cegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme, Ayo Mengajar Indonesia Gelar Dialog

Peneliti dari Setara Institute Iif Fikriyati Ihsani menjabarkan, pola pendidikan di Indonesia semakin kehilangan ruhnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Apr 2021, 13:38 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2021, 09:00 WIB
Cegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme, Ayo Mengajar Indonesia Gelar Dialog
Cegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme, Ayo Mengajar Indonesia Gelar Dialog. (Liputan6.com/Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ayo Mengajar Indonesia menggelar dialog publik dalam program Ayo Bahas Vol.9 dengan tema Tolerance, Yes! Radicalism, No! Cegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Dunia Pendidikan yang digelar pada Sabtu, 24 April 2021 di Meeting Room, Favehotel Gatot Subroto Jakarta.

Dalam dialog tersebut membahas tentang bagaimana peran serta semua pihak, dari mulai guru, pemerintah, sampai lembaga masyarakat dalam menolak radikalisme dan menjadi toleransi didalam dunia pendidikan.

Acara berjalan dengan konsep hybrid secara online dan offline dengan cara dialog paralel serta tanya jawab antara narasumber dengan peserta.

Direktur Ayo Mengajar Indonesia Adi Raharjo mengatakan, kegiatan ini memiliki tujuan untuk menyampaikan nilai-nilai toleransi.

Karena, menurut dia, sekolah mengajarkan untuk membuat karakter dalam nilai-nilai yang baik dan kondisi intoleransi di dunia pendidikan.

"Pendidikan harus membuat karakter bangsa bersih dari nilai-nilai intoleransi," ucap Adi, melalui keterangan tertulis, Minggu (25/4/2021).

Sementara itu, peneliti dari Setara Institute Iif Fikriyati Ihsani menjabarkan, pola pendidikan di Indonesia semakin kehilangan ruhnya.

Hal tersebut menurut dia karena hanya bergerak dalam wilayah kompetisi, bukan menumbuhkan nilai nilai yang membangun toleransi.

"Kita menemukan, intoleransi terjadi di perguruan tinggi, ketika meneliti 10 kampus, kami menemukan tingkat intoleransi cukup tinggi sapai 20-30 persen," ucap Iif.

Lalu, lanjut dia, ketika penelitian di sekolah pun sama, cukup tinggi tingkat intoleransi, dan bukan tumbuh tiba-tiba, tapi memang ada peningkatan dari zaman di sekolah sampai ke perguruan tinggi.

"Darahnya Indonesia itu adalah intoleransi, seperti sejarah yang ada, Ini bukan sesuatu yang tumbuh tiba-tiba, tapi tumbuh secara perlahan dan dari pola pola kecil, bahwa orang itu cenderung radikal karena dalam keluarganya tidak memberikan ruang interaksi," papar Iif.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dibayangi Radikalisme

Bom Teroris
Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Menurut Cendikiawan Islam Azzyumardi Azra, kita selalu dibayang-bayangi oleh radikalisme dan seolah-olah Indonesia itu jauh lebih buruk dari negara lain.

Karena, kata dia, jika dibombardir dengan isu radikalisme, maka kita sebagai bangsa akan merasa minder dengan negara lain, walau memang benar ada gejala radikalisme tapi jangan dilebih-lebihkan.

"Ayo mengajar Indonesia harus membuat anak anak peserta didik kita tidak kecut, harus mengajarkan pemahaman keagamaan yang moderasi, dan toleransi, serta pemerintah harus inisiatif, agar guru guru diberikan pelatihan tentang pancasila dan nasionalisme, agar dalam pengajarannya bisa memberikan nilai-nilai toleransi, dan saya mengapresiasi gerakan Ayo Mengajar Indonesia ini, agar bisa menekankan perbaikan karakter," ucap Azzyumardi.

Kemudian, Jejen Musfah, Pakar Pendidikan dan Wakil Sekjen PB PGRI menyampaikan, Ppndidikan untuk karakter itu melalui 3 cara, yaitu modeling, kebiasaan, pengajaran.

"Benar bahwa indonesia sudah baik toleransinya namun bukan berarti kita mengabaikan pikiran intoleran," terang Jejen.

"Pencegahan radikalisme, bahwa banyak dalam riset, bahwa radikalisme itu benih benihnya dari intoleransi, jika model pengajarannya inklusif atau kolaboratif atau pembelajaran aktif, saya rasa akan berkurang rasa intoleransi," tegas dia.

Brigjen Polisi Ahmad Nurwahid selaku Direktur Pencegahan BNPT menyampaikan, radikalisme dan terorisme dalam segi agama yang kita bicarakan, yaitu ingin mengganti konstitusi negara menjadi khilafah, atau daulah islam.

"Yang belum dilarang oleh negara yaitu ajaran yang radikalisme atau ajaran agama yang ingin merubah konsitusi negara menjadi negara islam. Namun undang-undang sudah bisa menangkap untuk mencegah dalam tidakan terorisme," kata Ahmad.

"Yang belum terpapar 87,8 persen radikalisme, namun rentan untuk terpapar, maka harus diajarkan spritualitas yang rahmatan lil alamin, dan juga jangan memfollow ustad yang berfaham radikal, seperti ustad yang berfaham salafi wahabi, dan juga jangan mengeneralkan salafi wahabi semua teroris ya," sambung dia.

Ahmad pun berpesan jangan sampai intolerasi berkembang dan berkeliaran di seluruh lapisan masyarakat.

"Apalagi memfitnah dan menjelakan satu sama lain, maka satu sama lain harus saling mengenal satu sama lain, satu sama lain harus menghargai, saling menyayangi, dan jangan biarkan intoleransi merajalela, karena intoleransi adalah embrio radikalisme dan terorisme," pungkas Ahmad Nurwahid.

Untuk diketahui, acara itu dihadiri beragam narasumber yaitu Cendikiawan Islam Azyumardi Azra, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R. Ahmad Nurwahid, Wakil Sekjen PB PGRI Jejen Musfah, peneliti Setara Institute Iif Fikriyati Ihsani, dan Adi Raharjo (Direktur Ayo Mengajar Indonesia).

Peserta yang hadir dari berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, serta relawan Ayo Mengajar Indonesia, jumlah peserta yang hadir dalam offline ada 30 orang, hadir dalam online ada 300 orang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya