Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) mengatur syarat baru untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Kandidat Capres-Cawapres harus merupakan kader politik dan bukan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Organisasi HTI diketahui telah dibubarkan pemerintah pada Juli 2017 lalu. Pembubaran ormas tersebut berdasarkan SK Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.
Dikutip dari draf RUU pemilu, pada Pasal 311 disebutkan pendaftaran bakal pasangan calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden harus melengkapi dokumen persyaratan administrasi. Salah satunya pada huruf q, syarat administrasi itu adalah surat keterangan menjadi kader partai politik satu tahun sebelum pelaksanaan Pemilu.
Advertisement
"Surat Keterangan Telah Menjadi Anggota, Kader atau Pengurus Partai Politik terhitung 1 (Satu tahun) sebelum pelaksanaan pemilu yang ditandatangani oleh ketua umum atau sebutan lain dan sekertaris jendral atau sebutan lain partai politik," bunyi pasal tersebut dalam draf RUU Pemilu.
Selain itu, bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden juga harus memenuhi syarat bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Syarat ini diatur dalam Pasal 182 huruf jj. "Bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," bunyi pasal tersebut.
Seperti eks anggota PKI, bekas anggota HTI dilarang mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, DPD RI, serta Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Wakil Wali Kota.
Lebih lanjut, sebagai persyaratan administrasi bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden, serta Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Calon Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Wakil Wali Kota, harus menyertakan surat keterangan tidak terlibat HTI dari kepolisian.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
RUU Pemilu Ditargetkan Rampung Pertengahan 2021
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyatakan, pihaknya menargetkan revisi undang-undang (RUU) Pemilu selesai pada pertengahan 2021. Alasannya adalah mengejar penyelenggaraan Pilkada 2022.
Dalam draf RUU Pemilu mengatur, Pilkada setelah 2020 akan digelar serentak pada 2022 dan 2023. Mengubah ketentuan undang-undang berlaku yaitu akan diserentakan bersama Pilpres dan Pileg di tahun 2024.
Doli mengatakan, sebelumnya ia berharap draf RUU Pemilu sudah bisa dibahas pada akhir tahun 2020. Namun, karena dinamika politik yang berkembang, RUU Pemilu sampai saat ini masih tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
"Harapan kita, awalnya saya di masa sidang kemarin sebelum akhir tahun 2020 sudah dilakukan pembahasan tapi ternyata masih ada dinamika berkembang sehingga (draf) belum dikembalikan ke komisi II," kata Doli dalam diskusi daring, Minggu (24/1/2021).
Politikus Golkar ini menuturkan, RUU Pemilu ditargetkan selesai pada pertengahan 2021, karena menghitung penyelenggaraan Pilkada 2022. Butuh persiapan serta pengesahan anggaran melalui APBD di tahun 2021.
"Saya sebetulnya menargetkan paling lama UU ini harus selesai di pertengahan 2021 kalau kita mulainya di akhir tahun 2020," jelas Doli.
Karena itu akan disiapkan waktu penyelenggaraan Pilkada 2022 sekitar bulan Juli atau September. Bergantung kapan RUU Pemilu ini disahkan menjadi undang-undang.
"Kalau selesai di bulan Agustus, pelaksanaannya paling cepat Juni, paling lama bulan September seperti dalam UU yang sebelum, september 2020 kemarin," kata dia.
Doli mengaku ada alternatif lain jika pembahasan RUU Pemilu tidak mencapai target batas waktu. Penyelenggaraan Pilkada 2022 akan digabungkan dengan Pilkada 2023. Usulan ini juga disuarakan oleh Perludem.
"Kami berpikir kalau seandainya UU ini cukup lama dan tidak memungkin pilkada serentak 2022. The worstnya pilkada 2022 itu digabung 2023," kata Doli.
Reporter: Ahda Bayhaqi/Merdeka.com
Advertisement