Pukat UGM Beberkan 3 Faktor Picu Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi RI

Berdasarkan catatan Pukat UGM, IPK Indonesia yang menurun sebenarnya telah dapat diprediksi karena berbagai fenomena yang terjadi sepanjang beberapa tahun terakhir.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Jan 2021, 18:06 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2021, 18:06 WIB
Peringati Hari Antikorupsi Sedunia di Car Free Day
Warga menandatangani spanduk dukungan anti korupsi yang dibentangkan saat Hari Bebas Kendaraan di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (10/12). Aksi dilakukan untuk memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia, 9 Desember. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menyoroti merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (ICP) tahun 2020 yang menggambarkan kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia.

Peneliti Pukat UGM, Yuris Rezha Kurniawan menilai, penurunan tiga poin IPK dari 40 menjadi 37 bisa diartikan sebagai catatan buruk pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab terhitung sejak 2008, tren IPK Indonesia cenderung naik.

"Penurunan IPK Indonesia menjadi gambaran bahwa ada kesalahan dalam kebijakan pemberantasan korupsi dalam kurun waktu satu tahun ke belakang," kata Yuris dalam keteranganya, Sabtu (30/1/2021).

Berdasarkan catatan Pukat UGM, IPK Indonesia yang menurun sebenarnya telah dapat diprediksi karena berbagai fenomena yang terjadi sepanjang beberapa tahun terakhir. Setidaknya ada tiga faktor yang memicu merosotnya IPK Indonesia pada 2020.

"Pertama, melemahnya kelembagaan antikorupsi. Revisi UU KPK terbukti secara signifikan telah menurunkan kinerja KPK dalam hal penindakan pemberantasan korupsi. Selain itu, semangat pemberantasan korupsi dicederai oleh praktik korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum," katanya.

Kedua, lanjut Yuris, terkait regulasi dan kebijakan sektor bisnis yang dinilai kurang mendorong proses bisnis yang bersih. Dengan menyumbang penurunan signifikan berasal dari indikator yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi, sebagaimana Indikator Global Insights turun 12 poin dan PRS turun 8 poin.

"Penurunan tersebut dipicu oleh relasi korupsi antara pebisnis dengan pemberi layanan publik untuk mempermudah proses memulai usaha atau mendapatkan izin berusaha dan praktik korupsi politik yang melibatkan penyelenggara negara dengan pebisnis. Salah satu kebijakan yang didorong satu tahun terakhir adalah kemudahan berusaha untuk mendatangkan investasi, salah satunya melalui UU Cipta Kerja," jelasnya.

Terlebih, dia memandang bahwa undang-undang yang kerap mendapat kritik dari kaum pekerja ini tidak disertai dengan upaya pencegahan korupsi yang baik. Justru dalam beberapa hal cenderung hanya fokus pada kemudahan berbisinis dengan menerobos beberapa katup pengaman yang sejatinya menjadi sistem pendukung pencegahan korupsi.

"Ketiga, terdapat kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia. Secara umum, regulasi yang dibentuk dalam satu tahun belakang tidak mencerminkan prinsip-prinsip antikorupsi, seperti transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik," beber dia.

Yuris lantas menyoroti beberapa regulasi yang lahir dengan mendapatkan respons negatif masyarakat,  di antaranya adalah UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Proses legislasi yang buruk ini bisa menjadi indikator kuat yang menyebabkan IPK Indonesia menurun.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Rekomendasi Pukat UGM

Berdasarkan hal-hal tersebut, Pukat UGM memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Memperkuat kembali kelembagaan antikorupsi di Indonesia dengan melakukan evaluasi terhadap revisi UU KPK yang secara terang telah melemahkan KPK.

2. Mendorong pemerintah untuk mengatur strategi pemberantasan korupsi yang telah diamanatkan UNCAC seperti kejahatan memperdagangkan pengaruh, perampasan aset serta pengelolaan konflik kepentingan demi mendukung pencegahan korupsi berjalan efektif dalam dunia usaha dan iklim bisnis di Indonesia.

3. Membenahi proses legislasi dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam menyusun kebijakan.

Sebelumnya, Transparency International Indonesia (TII) merilis indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia tahun 2020. Hasilnya, indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 37 pada skala 0-100 atau turun 3 peringkat dari tahun sebelumnya.

"CPI Indonesia tahun 2020 ini kita berada pada skor 37 dengan ranking 102 dan skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 lalu," kata Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko, dalam konpers daring, Kamis (28/1).

Wawan menyebut posisi Indonesia juga ikut melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara, atau ranking yang sama dengan negara Gambia.

"Tahun-tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan ranking 85, ini 2020 kita berada di skor 37 dan ranking 102. Negara yang mempunyai skor dan ranking sama dengan Indonesia adalah Gambia," kata Wawan.

Wawan mengatakan, apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat kelima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), bahkan di bawah Timor Leste (40).

Selain itu, lanjut Wawan, terdapat lima sumber data di mana Indonesia skornya turun dibandingkan tahun lalu. Sumber data yang skornya turun adalah PRS International County Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Varieties of Democracy Project.

"Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha," kata Sekjen TII Danang Widoyoko.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya