Special Content: Wacana UU Media Sosial, Benarkah Indonesia Sudah Butuh Regulasi Digital Nasional?

Wacana pembentukan Undang-Undang Media Sosial muncul berbarengan dengan kajian revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

diperbarui 13 Des 2021, 18:25 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2021, 13:00 WIB
Ilustrasi Undang-Undang Media Sosial (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi Undang-Undang Media Sosial (Liputan6.com / Abdillah)

Jakarta - Wacana pembentukan Undang Undang (UU) Media Sosial belakangan muncul ke permukaan. Hal itu muncul setelah belum adanya peraturan yang konkret di ranah media sosial, karena UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dinilai belum mewakili. 

Desakan juga muncul para pegiat pers dan pengusaha media terkait peraturan di media sosial. Mereka mendorong pemerintah menerbitkan regulasi tentang aturan main yang tegas, yang melibatkan kedua media tersebut.

Industri media memang menjadi pihak yang terkena disrupsi teknologi digital lebih dulu. Industri penyiaran dan komunikasi terimbas langsung disrupsi teknologi digital, dan bukan tidak mungkin melebar ke industri lainnya seperti yang sudah terjadi pada industri Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Energi.

 

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari, berharap ada kerja sama yang mengatur secara objektif antara media mainstream dan media sosial. Dia juga ingin ada win-win solution agar keduanya bisa berjalan beriringan.

"Perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil, dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan media (konvensional)," ucap Atal S. Depari dalam Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2021, Kamis 4 Februari 2021.

"Dibutuhkan regulasi yang memungkinkan mekanisme koeksistensi, antara media lama dengan media baru, yang saling membutuhkan," katanya.

Atal Depari merasa tidak cukup solusi dari persoalan hanya dengan konvergensi media. Dia menekankan perlunya payung hukum yang tegas untuk media sosial, karena media massa konvensional sudah memiliki UU Pers.

Hadirnya media sosial dinilai perlu dibarengi regulasi negara demi menjaga keberlangsungan media mainstream. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, yang memandang urgensi pembentukan regulas media sosial.

"Jadi dalam perspektif kami, memang perlu sekali ada regulasi, entah di level apa, karena kita ingin melindungi wartawan yang benar. Kita ingin supaya masyarakat juga tidak terus 'Diracun'. Saya kira perlu ada regulasi untuk media sosial," ungkap Hendry.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, keberlangsungan hidup media massa konvensional saat ini tengah terancam. Hal tersebut merupakan imbas dari persaingan sengit antara media sosial dengan media massa.

Yasonna menjelaskan, pertumbuhan pengguna media sosial yang masif serta kemudahan orang dalam membuat media sosial, ternyata menjadi tantangan bagi media massa, khususnya media konvensional. Kondisi yang sama dirasakan dua media elektronik, televisi dan radio, yang juga menghadapi tantangan berat.

"Banyak sudah media-media cetak nasional, apalagi regional dan lokal, yang tutup karena tidak mampu bersaing dengan media digital berbasis internet," ujar Yasonna.

"Dengan banyak informasi melalui dunia digital, semakin sedikit orang yang membaca media cetak, seperti koran atau majalah. Mungkin saat ini hanya orang-orang tua saja yang masih akrab dengan koran," imbuhnya.

 

Yasonna mengatakan, anak-anak generasi sekarang lebih akrab dengan dunia streaming di internet ketimbang menonton televisi. YouTube, Podcast, TikTok, dan lain sebagainya menjadi platform yang digandrungi sebagian besar anak muda untuk dikonsumsi.

Ayah empat orang anak ini menuturkan, banyak netizen di Indonesia yang tetap menyebarkan informasi, padahal sebenarnya mereka mengetahui bahwa informasi itu meragukan atau salah. Netizen juga memiliki keengganan mengklarifikasi saat sadar informasi itu salah.

Dalam hal ini, Yasonna berpendapat, literasi digital ke depan juga harus menjadi bagian dari pendidikan masyarakat. Saat ini setidaknya ada 160 juta orang Indonesia yang mengakses media sosial. Lewat media sosial, setiap hari masyarakat dijejali ratusan atau bahkan ribuan informasi. Namun, lanjut Yasonna, walaupun masyarakat menerima 'tsunami informasi', banyak di antaranya yang tidak bermutu, bahkan kabar bohong atau hoax.

Menurut pria berusia 67 tahun ini, tingginya disinformasi atau hoax ini juga tidak lepas dari masifnya informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan literasi digital, kemampuan analisa dan kecermatan dalam memilah informasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Berikut Ini


Pers dan Media Sosial

ilustrasi media massa
Ilustrasi media konvensional (sumber: Pixabay)

Terdapat sejumlah pengguna media sosial yang memiliki audience sebesar media mainstream. Mereka yang kerap disebut sebagai influencer ini dianggap belum memiliki regulasi yang jelas dan tegas, sehingga pertanggungjawabannya pun dipertanyakan.

Jika media mainstream sudah memiliki UU Pers serta Kode Etik Jurnalistik, para pengguna media sosial dengan audience sebesar media diharapkan juga punya peraturan, sehingga kontennya dapat dipertanggungjawabkan.

Digital Activist, Enda Nasution, menerangkan, media sudah memiliki UU Pers, yang mengatur perusahaan pers dan terdaftar di Dewan Pers. Lalu, pers juga berbadan hukum dan menjalankan fungsi jurnalistik di mana para jurnalisnya tunduk pada Kode Etik Jurnalistik.

Namun, Enda menyebut, sekarang definisi media sesungguhnya sudah berubah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak perorangan atau pribadi-pribadi yang punya audience bahkan sebesar audience media juga dan bisa berkomunikasi secara langsung ke media.

"Tapi, apakah mereka juga dikenakan atau termasuk dalam UU Pers? Kan tidak. Nah, tapi tanggung jawab enggak punya, etiket atau etika juga enggak punya, itu juga kan belum ada. Tapi, kalau segala-galanya harus diundang-undangkan juga kayanya terlalu repot," kata Enda Nasution ketika dihubungi Liputan6.com.

"Yang ideal untuk content creator atau influencer, harusnya temen-temen ini membuat asosiasi bersama, lalu kemudian bikin peraturan sendiri untuk memplatform diri mereka sendiri, jadi self regulated istilahnya. Bukan menunggu sampai pemerintah punya peraturan untuk mereka. Lagipula, apa yang mau diatur, sebenarnya masalahnya hanya soal tanggung jawab saja."

 

Fenomena yang terjadi di media sosial seringkali menjadi perhatian. Di Indonesia, media sosial tak jarang digunakan untuk saling menghina, baik masyarakat biasa sampai pejabat. Selain itu, kabar bohong atau hoax juga banyak beredar di media sosial.

Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, berharap pembuatan regulasi media sosial bertujuan agar media sosial dan media massa dapat dibedakan. Hendry mengaku Dewan Pers kerap diminta menindaklanjuti laporan hoaks di media sosial, padahal hal itu bukan wewenangnya. Saat ini laporan hoaks masih ditindaklanjuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Di Turki, pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan diketahui mengesahkan UU Kontrol Media Sosial yang kontroversial. Latar belakang dibuatnya UU tersebut tidak lain setelah Erdogan mengetahui keluarganya sering dihina di media sosial.

Seperti diansir Euronews, UU Kontrol Media Sosial ini disahkan parlemen Turki tahun lalu. Pemerintahan Erdogan meminta para perusahaan media sosial mematuhi perintah pengadilan Turki atas penghapusan konten tertentu, jika tidak mereka menghadapi denda berat.

UU Kontrol Media Sosial itu juga mengatur soal server data pengguna Turki disimpan di negara itu, bukan di perusahaan media sosial. UU Media Sosial itu juga mengatur ketat pengguna berpengaruh di Turki yang memiliki unique visitors lebih dari satu juta setiap hari.

Lalu, apakah UU Media Sosial di Indonesia akan seperti yang diterapkan di Turki? Urgensi pembentukan UU Media Sosial, apa benar-benar yang dibutuhkan di Indonesia?

Mengingat UU Media Sosial ini masih wacana, tentu perlu waktu dalam pembahasannya sebelum menjadi konstitusi. Perlu juga diketahui apa perbedaannya dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008.


Revisi UU ITE

Soal Revisi UU ITE, Fraksi PAN dan PKS Paling Progresif
UU ITE (kominfo.go.id)

UU ITE diketahui mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Sayangnya, UU ITE malah lebih dikenal dengan peraturan yang bisa memenjarakan orang akibat aktivitas tertentu di media sosial lewat pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Bunyi pasal 27 ayat 3 UU ITE yakni, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sementara itu, menurut Enda Nasution, UU ITE sebenarnya adalah interchange. Boleh dibilang, UU ITE merupakan versi awal dari UU Digital di Indonesia. Enda juga mengungkapkan, 90 persen dari isi UU ITE sendiri tidak ada hubungannya dengan pencemaran nama baik atau fitnah atau ujaran kebencian.

Isi UU ITE itu didominasi soal dokumen elektronik, sistem elektronik, lalu kemudian tanda tangan elektronik. Malah, istilah digital belum dipakai di UU ITE, dan masih terminologi yang digunakan adalah sistem informasi atau sistem elektronik.

"Kita juga tentunya dalam membentuk UU yang baru ini punya taste seperti di UU ITE tadi. Jadi, jangan sampai seperti hal yang tidak kita inginkan," kata Enda.

"Justru malah UU yang akan ada ini malah membuat si teknologi industrinya lebih maju. Memiliki keberpihakan terhadap industri dalam negeri misalnya, atau ekonomi Indonesia atau pengembangan tentang industri digital dalam negeri. Jangan malah efek sampingnya yang terlalu besar, termasuk di dalamnya digunakan untuk mengintimidasi orang atau membungkam orang. Itu yang terjadi dengan UU ITE sekarang, walaupun itu cuma baru 1 pasalnya saja."

Belakangan, UU ITE mulai dikaji untuk dilakukan revisi. Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, jika memang ada pasal karet dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka itu bisa diubah.

"Jika memang di dalam undang-undang itu ada substansi-substansi yang berwatak haatzai artikelen, berwatak pasal karet maka bisa diubah dan bisa direvisi," kata Mahfud.

Dia mengungkapkan, revisi terhadap sebuah produk hukum, khususnya UU ITE bisa berbagai macam bentuk. Mahfud menjelaskan, revisi bisa dengan mencabut atau menambahkan kalimat, atau menambah penjelasan di dalam Undang-Undang tersebut.

Kajian revisi UU ITE ini melibatkan pihak yang pernah menjadi pelapor dan terlapor. Lalu, kelompok asosiasi pers, aktivis, masyarakat sipil, dan praktisi juga akan dilibatkan dalam pembahasan revisi UU ITE selanjutnya.

"Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk membuat resultante atau kesepakatan baru terkait kontroversi di dalam UU ITE," ucap Mahfud.

Di tengah menguatnya wacana revisi Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.

Lewat surat tersebut, Kapolri menegaskan kepada penyidik, polisi memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penanganan perkara UU ITE. Sigit meminta penyidik mengedepankan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif dalam penegakan hukum.


Alasan Indonesia Butuh UU Media Sosial

Banner Infografis Jokowi Usulkan DPR Revisi UU ITE, Hapus Pasal Karet? (Liputan6.com/Trieyasni)
(Liputan6.com/Trieyasni)

Ketua Tim RUU Media Sosial versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Wina Armada Sukardi, menjelaskan ada tiga alasan kenapa Indonesia butuh Undang-Undang Media Sosial.

"Pertama, latar belakang UU ITE dibuat adalah untuk kepentingan bisnis, perdagangan dan transaksi elektronik. Tetapi kemudian ada sampiran pidana pencemaran nama baik, fitnah dan sebagainya. Dalam perkembangannya, yang sampiran justru jadi utama. Jadi, penggunaan UU ini tak sesuai dengan tujuan dari latar belakang dibuatnya UU ITE," kata Wina kepada Liputan6.com.

Kedua, dalam demokrasi, kemerdekaan mengemukakan pendapat dan kebebasan pers harus dijamin negara. Jadi, tidak bisa konstitusi ini dilanggar dengan berbagai UU, termasuk UU ITE. Tetapi, perlu juga dibedakan antara freedom of expression dan freedom of press.

"Kalau kemerdekaan pers tunduk pada kode etik jurnalistik, harus berimbang, akurat, faktual dan tunduk kepada UU Pers. Sedangkan freedom of expression atau kebebasan mengemukakan pendapat itu berbeda. Jadi, harus ada kejelasan antara pers dan non pers, termasuk sanksi dan pengaturannya."

"Jadi, nanti di UU Media Sosial dibedakan mana yang pers dan mana yang bukan, biar tidak rancu. Kalau pers tetap akan tunduk pada UU Pers."

Ketiga, kata Wina, walaupun kemerdekaan ekspresi dan pers perlu dilindungi, tetapi negara juga perlu menjamin tidak ada anarki. Ketertiban sosial harus tetap dijaga.

"Coba Anda bayangkan kalau tidak ada aturan atau tata tertib sosial, maka setiap orang bisa memfitnah atau membuat berita bohong. Oleh karena itu harus tetap diatur, tetapi pengaturan ini harus sesuai dengan tujuan dibuatnya UU Media Sosial, bukan di UU ITE."

"PWI mengusulkan semua itu tidak lagi dalam UU ITE. Jadi pasal 27, 28, 40 dan sejenis itu dikeluarkan dari UU ITE. Jadi, UU ITE hanya mengatur murni mengenai bisnis saja dan sanksinya terkait bisnis, tanda tangan palsu dan sebagainya. Hal-hal lain itu dimasukkan ke dalam UU Media Sosial."

"Oleh karena itu, PWI mengendorse, membuat draft UU Media Sosial. Tentu nanti kita akan mendengar masukan para ahli, aktivis dan sebagainya," ucap Wina.


Regulasi Digital Menyeluruh

Pelajari Tips Ini untuk Dongkrak Bisnis Rental Mobil di Era Digital
(Foto: Ist)

Tak dapat dipungkiri, peraturan untuk media sosial dibutuhkan Indonesia. Situasi dan kondisi pandemi COVID-19 yang juga menimpa Indonesia menjadi salah satu pemicu perlunya regulasi ini.

Digital Activist, Enda Nasution, setuju dengan adanya regulasi tentang media sosial, karena kondisinya sudah urgen. Bahkan, menurut Enda sesungguhnya Indonesia sudah darurat digital.

"Ini kan esensinya yang sebenarnya di pikirkan adalah kondisi baru di mana teknologi digital ini punya peranan besar dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama di media sosial. Pasti kalau kita lihat dalam kerangka yang lebih besar, bukan hanya media sosial saja yang perlu dipikirkan, tapi sebenarnya adalah pengaruh teknologi digital ke kehidupan bernegara kita secara keseluruhan," papar Enda.

Pria yang dijuluki Bapak Blogger Indonesia ini berpendapat, Undang-Undang yang nantinya dibuat, jangan hanya mengurusi media sosial saja. Dia menilai perlunya Undang-Undang yang mengatur lebih menyeluruh mengenai dunia digital di Indonesia.

"Kalau menurut saya sih, kita harus melihat panjang ke depan. Kita kan enggak bisa bikin Undang-Undang untuk satu atau dua tahun ke depan. Kita harus melihat mungkin 5 sampai 10 tahun ke depan," kata Enda.

"Yang perlu dipikirkan itu bukan hanya UU media sosial saja, tapi UU digital Indonesia ke depan. Yang nanti di dalamnya termasuk sebenarnya, harusnya, bagaimana sih mengembangkan industri digital atau ekonomi digital ini ke depan. Pemihakan-pemihakan dari kedaulatan digital laten yang perlu diperkuat dan perlu ada, yang pemerintah dan masyarakat perlu pegang. Nanti, salah satu bagiannya ada tentang interaksi di dunia digital. Karena media sosial itu kan sebenarnya kan bagian kecil saja dari teknologi digital secara keseluruhan," beber pria berusia 45 tahun ini.

Enda menambahkan, media sosial tidak mencakup aplikasi chat. Padahal, aplikasi chat juga memiliki porsi besar dalam interaksi digital. Selain itu, banyak hal lain yang bukan media sosial, tapi juga urgen untuk segera dibuat regulasinya seperti data pribadi, penyiaran digital, dan pemanfaatan teknologi digital untuk pendidikan dan serta keamanan negara.

"Jadi, kita perlu berpikir yang komprehensif dan lebih menyeluruh untuk mengantisipasi, tapi juga dengan tujuan agar manfaatkan sebesar-besarnya dari teknologi digital ini bisa dinikmatin oleh masyarakat Indonesia," ucapnya.

"Jangan kita hanya sebagai konsumen saja, tapi bagaimana caranya memang manfaat terbesarnya menjadi lebih diterima dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia," ujar pria kelahiran Bandung, Jawa Barat ini.

Indonesia sudah memerlukan Undang-Undang yang lebih komprehensif mengenai industri digital dan ekonomi digital. Apalagi kondisi pandemi COVID-19 seharusnya memaksa peraturan tentang dunia digital untuk segera disahkan.

Hal itu disebabkan penggunaan digital yang meningkat pesat di Indonesia selama pandemi COVID-19. Enda menilai, urusan media sosial hanya masuk dalam lingkup kecil, yang sebaiknya dibuat adalah Undang-Undang Digital dengan lebih komprehensif.

"Kalau dulu kita bisa menunggu 3-5 tahun lagi (untuk buat UU Teknologi Digital), sekarang tiba-tiba kejadian (pandemi) di 2020, semua penggunaan digital meningkat. Di pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya. Jadi, kalau kita biarkan kaya begini terus, kita akan ditinggal terus. Kita perlu sesuatu yang nyata, yang membuat kita bisa meloncat ke depan," jelasnya.

"Tapi ini perlu landasan hukum. Landasan hukumnya apa? Ya UU Digital Indonesia itu tadi dan di dalamnya nanti akan ada tentang media sosial, yang bukan untuk membungkam kritik. Tapi kalau UU hanya untuk memikirkan tentang media sosial saja, masih terlalu kecil."


INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Mereka yang Terjerat Kasus dari Media Sosial (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Mereka yang Terjerat Kasus dari Media Sosial (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya