Cara Densus 88 Putus Mata Rantai Terorisme dalam Keluarga Pelaku Teror

Salah satu langkahnya yaitu melalui pendekatan humanis dan soft approach terhadap anak, istri maupun keluarga pelaku aksi teror.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Apr 2021, 11:06 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2021, 11:06 WIB
Ilustrasi pengkapan terduga terorisme.
Ilustrasi pengkapan terduga terorisme. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Polri, Moh Djafar Shodiq mengatakan pihaknya telah melakukan langkah terbatas dalam memutus mata rantai generasi terorisme. Salah satu langkahnya yaitu melalui pendekatan humanis dan soft approach terhadap anak, istri maupun keluarga pelaku aksi teror.

"Kami memisahkan anak pelaku dari keluarganya untuk mencegah mereka terpapar paham ekstrem, kemudian memberikan assement pendampingan psikologis, serta menyekolahkan mereka di sekolah dengan pendidikan moderat," kata Moh Djafar dalam keterangan pers, Sabtu (17/4/2021).

Dia menjelaskan hal tersebut diharapkan dapat membuat mereka menjadi agen perubahan dari generasi muda, yaitu untuk membangun anak-anak yang berpikir moderat dan terlindungi dari paham radikal dan aksi terorisme.

Sementara itu dia juga menjelaskan anak yang terjerat tindak terorisme merupakan korban dari lingkungan maupun orang tua yang salah.

"Biarpun masuk dalam tatanan unsur perbuatan melawan hukum tapi mereka merupakan korban yang harus diberikan pendekatan secara komprehensif," ungkapnya.

Sementara itu Psikolog Anak, Seto Mulyadi mendukung pendekatan humanis yang dilakukan Densus 88. Dia meminta agar dalam proses penangkapan pelaku tidak dilakukan di hadapan anak untuk mencegah timbulnya rasa dendam yang dapat menumbuhkan bibit terorisme.

"Anak sejatinya merupakan peniru, jika anak berada dalam lingkungan yang penuh kedamaian, maka karakter itulah yang terbentuk. Tapi jika penuh kekerasan," katanya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kontrol Warga

Hal tersebut kata dia yang akan dibentuk dalam diri anak. Keluarga harus menerapkan pengasuhan dan pendidikan yang damai, menghargai perbedaan, tanpa kekerasan, dan adanya komunikasi terbuka.

"Namun harus kontrol dari warga sekitar. Untuk itu perlu dibentuk seksi perlindungan anak di tingkat RT," tutup Seto.

Reporter: Intan Umbari Prihatin

Sumber: Merdeka

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya