Draf Baru RUU PKS Hapus Poin Krusial, Baleg Didesak Dengarkan Masukan Publik

Badan Legislatif DPR-RI diminta segera membuka seluas-luasnya ruang partisipasi public terkait RUU PKS ini.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 04 Sep 2021, 18:27 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2021, 18:27 WIB
Kaum Hawa Desak DPR Segera Sahkan RUU PKS
Massa Kolaborasi Nasional melakukan aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Massa mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada periode 2014-2024. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - LBH Jakarta memberikan 16 catatan penting terhadap draf RUU PKS versi Baleg DPR-RI. Pertama, hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas.

“Kedua, dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual. Ketiga, dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan,” demikian kutipan pernyataan LBH Jakarta, Sabtu (4/9/2021).

Catatan keempat adalah ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan. Kelima, tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran. Keenam, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri.

“Ketujuh, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online. Kedelapan, menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak,” tulis LBH.

Catatan kesembilan LBH adalah tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku. Kesepuluh, tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas.

Kesebelas, hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.

Kedua belas, tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum.

Ketiga belas, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.

Keempat belas, arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan.

Kelima belas, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban.

Keenam belas, menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

Buka Ruang Partisipasi Publik

Desak Sahkan RUU PKS, Para Perempuan Geruduk Gedung DPR
Masa yang tergabung dalam "Gerak Perempuan" melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa (7/7/2020). Dalam aksinya mereka menuntut menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Memperhatikan catatan tersebut, LBH Jakarta menuntut agar Badan Legislatif DPR-RI memasukan seluruh catatan LBH Jakarta agar dirumuskan untuk diatur menjadi pasal demi pasal ke dalam draf RUU PKS.

“Badan Legislatif DPR-RI diminta segera membuka seluas-luasnya ruang partisipasi public dengan melibatkan secara aktif korban, pendamping, kelompok masyarakat dan ahli yang konsisten mendorong pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual untuk merumuskan kebijakan pasal demi pasal terhadap RUU PKS,” papar LBH.

Selain itu, Badan Legislatif DPR-RI diminta untuk mendengarkan, mempertimbangkan dan mengimplementasikan masukan yang komprehensif dari berbagai kalangan yang mempunyai visi besar untuk mencegah serta menghapuskan kekerasan seksual melalui RUU PKS.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya