Poin Pemaksaan Perkawinan Hilang dalam RUU PKS, LBH: Sama Saja Dukung Status Quo

Pada penghapusan Ketentuan Mengenai Pemaksaan Aborsi dalam RUU PKS, LBH menegaskan bahwa poin tersebut penting untuk diatur sebagai terobosan untuk memidana pelaku.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 04 Sep 2021, 13:55 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2021, 13:55 WIB
Desak Sahkan RUU PKS, Para Perempuan Geruduk Gedung DPR
Masa yang tergabung dalam "Gerak Perempuan" melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa (7/7/2020). Dalam aksinya mereka menuntut menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Draft baru Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menghapus lima dari sembilan jenis kekerasan seksual

Kini dalam RUU PKS hanya ada empat jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yakni pelecehan seksual, pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.

Sementara, Ketentuan Tindak Pidana Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, dan Perbudakan Seksual telah hilang.

LBH Jakarta menyoroti penghapusan lima jenis kekerasan seksual itu. Pada poin penghapusan Tindak Pidana Pemaksaan Perkawinan, LBH Jakarta menyatakan hal itu sama saja mendukung status quo serta mengabaikan fakta pemaksaan perkawinan yang dihadapi perempuan dan anak.

"Perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan merupakan bentuk kekerasan terhadap gender yang telah berdampak secara kerugian fisik, mental atau seksual. Selain itu, pemaksaan perkawinan mengakibatkan terhambat dan terkuranginya pemenuhan hak-hak fundamental sebagai manusia. Sering kali, pemaksaan perkawinan dilakukan atas nama praktik budaya warisan leluhur. Namun seharusnya, praktik budaya yang merendahkan martabat seorang manusia harus dihapuskan," demikian kutipan pernyataan LBH Jakarta dikutip pada Sabtu (4/9/2021).

Sementara, pada penghapusan Ketentuan Mengenai Pemaksaan Aborsi, LBH menegaskan bahwa poin tersebut penting untuk diatur sebagai terobosan untuk memidana pelaku pemaksaan aborsi yang kemudian memberi perlindungan terhadap perempuan yang tidak melakukan aborsi.

"Laporan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat 7 korban pemaksaan aborsi selama tahun 2020. Lalu catatan Komnas Perempuan, tercatat 9 korban selama tahun 2020. Oleh karenanya, RUU PKS harus mengakomodir penjatuhan pidana terhadap orang yang memaksa melakukan aborsi. Sebagai upaya perlindungan, RUU PKS juga penting menegaskan “tidak mempidana” korban pemaksaan aborsi, karena kedaruratan medis dan aborsi karena kehamilan akibat kekerasan seksual," kata LBH.

 

Menyempitkan Definisi Tindak Pidana Perkosaan

Selain itu, LBH menegaskan pengubahan Nomenklatur Tindak Pidana Perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah nyata menyempitkan definisi atas tindak pidana perkosaan.

"Konsekuensi logis bahwa pengubahan nomenklatur ini juga mempersulit korban perkosaan karena pembuktian terbatas pada adanya penetrasi penis ke vagina. Dengan kata lain terbatas pada pembuktian fisik akibat tindakan penetrasi tersebut," jelas LBH.

Sementara itu, tim ahli dari Baleg, Sabari Barus menyebut alasan penghapusan Ketentuan Tindak Pidana Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, dan Perbudakan Seksual lantaran lima hal itu sudah diatur dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Substansinya hanya empat, jika dalam RUU Lama ada 9 jenis, setelah kami menyisir dengan melihat dalam KUHP dan rancangan rancangan KUHP kami telah mensortirnya sehingga hanya ada empat," kata Barus.

Barus mengklaim, hanya ada ke lima jenis kekerasan seksual yang dihapus itu bersingunggan atau telah diatur dalam KUHP, sehingga tak perlu diatur ulang dalam RUU PKS.

“Inilah tidak ada irisannya atau yang belum diatur dalam KUHP atau dalam RUUKUHP, jadi tinggal empat jenis," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya