Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran atau Unpad Professor Susi Dwi Harijanti mengatakan, tidak ada urgensinya jika MPR melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi daring berjudul 'Menakar Urgensi Amandemen UUD 1945 yang diadakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang bekerja sama dengan Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) pada Kamis 16 September 2021. Dalam acara tersebut turut hadir Ketua MPR Bambang Soesatyo, Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, dan Ketua IKA Fakultas Hukum Unpad Yudhi Wibhisana.
"Secara pribadi saya mengatakan tidak ada urgensi (melakukan amandemen UUD 1945)," kata dia.
Advertisement
Menurut Susi, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kebijakan Negara yang melihat bahwa di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sudah ada haluan negara.
"Bahwa haluan-haluan negara itu pada dasarnya sudah ada di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945," jelas Susi.
Kalaupun ada perubahan, dia melihat pemerintahan Brasil yang menerapkan sistem Presidensil bahwa MPR-nya bisa meminta calon Presiden untuk melakukan perencanaan. Bukan dalam bentuk amandemen Undang-undang Dasar.
"Ketika Presiden, seseorang itu mencalonkan diri sebagai Presiden maka dia harus membuat sedemikian rupa rencana-rencana itu sesuai dengan haluan yang sudah ada di konstitusi Brasil. Jadi acuannya tetap Brasil," kata Susi.
Â
Lebih Peka
Sementara, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unpad (IKA FH UNPAD) Yudhi Wibhisana meminta lebih berhati-hati dalam menentukan amandemen UUD 1945 karena ini merupakan isu sensitif.
"Mana yang lebih penting? amandemen atau penguatan lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga politik seperti KPU, KPK, atau Parpol untuk bisa melahirkan sistem kenegaraan yang lebih menguatkan bangsa kita ini. Apakah kita semua mempunyai keyakinan, bahwa amandemen akan membawa perbaikan pada demokrasi?," kata dia.
Dasar inilah yang membuat pihaknya menaruh perhatian terhadap wacana Amandemen UUD 1945 yang terus bergulir dan menuai pro dan kontra.
Yudhi berharap, para perumus bisa lebih peka terhadap Amandemen UUD 1945, bukan hanya sekedar perubahan pasal dan bab semata.
"Problem hukum dan politik yang lebih besar harus dipikirkan juga oleh perumus, baik di eksekutif, legislatif maupun di yudikatif. Lembaga-lembaga tersebut harus mempunyai ratio legis yang dapat diterima masyarakat Indonesia, memegang teguh itikad baik, dan melepaskan vested interest, mengapa diperlukan atau tidak diperlukannya Amandemen UUD 1945," jelas dia.
Advertisement