Fraksi Gerinda Minta Pemprov DKI Jakarta Kaji Ulang Raperda Jaringan Utilitas

Fraksi Gerindra DKI Jakarta menyebut, penentuan besaran tarif sewa dalam Raperda Jaringan Utilitas semestinya dibahas bersama stakeholders agar tidak membebankan masyarakat pengguna hingga pelaku bisnis.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Okt 2021, 03:23 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2021, 03:23 WIB
Jakarta Smart City
Pekerja merapikan kabel jaringan utilitas ke dalam tanah di kawasan Kemayoran, Jakarta, Minggu (14/1). PT PLN Disjaya akan menertibkan kabel listrik yang ada di tiang-tiang dengan menanam kabel di bawah tanah. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta menyoroti sejumlah persoalan krusial pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Jaringan Utilitas.

Salah satunya, mengenai masalah penghitungan besaran tarif sewa sarana utilitas yang penempatannya dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).

Fraksi Gerindra menyebut, dalam penentuan besaran tarif sewa sudah semestinya dibahas bersama stakeholders agar tidak membebankan masyarakat pengguna hingga pelaku bisnis.

Pertanyaan tersebut mengemuka dalam Rapat Paripurna tentang Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPRD DKI Jakarta terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2021 dan Raperda tentang Jaringan Utilitas, Selasa (19/10/2021) lalu.

"Apalagi jika besaran tarif sewa (Sarana Jasa Utilitas Terpadu (SJUT)) mahal tentu akan berdampak kepada nilai jual kepada masyarakat. Tentu ini akan menjadi beban tersendiri dan lagi-lagi masyarakat yang akan dirugikan,” kata anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI, Syarifudin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/10/2021).

Dia menjelaskan, pelaksanaan keterpaduan perencanaan Jaringan Utilitas juga masih belum terlaksana dengan baik karena Pemprov DKI Jakarta belum mengoptimalkan berbagai data yang menunjukkan arah pengembangan kebutuhan jaringan utilitas.

Padahal, kata dia, jaringan utilitas ini sangat vital dan dibutuhkan sebagai sistem informasi komunikasi untuk kegiatan ekonomi, bisnis, dan sosial budaya di Jakarta yang merupakan pusat perekonomian.

"Masalah besaran tarif harus ada rasionalisasinya, apalagi era sekarang pemanfaatan digital untuk mendukung atau memenuhi kebutuhan dan kepentingan warga yang cukup luas sudah sepatutnya akses masyarakat terhadap jaringan dipermudah, sehingga tidak terbebani dengan biaya mahal," ungkapnya.

Menurut dia, terdapat keharusan untuk dibahas bersama mengenai besaran biaya yang wajar untuk pemanfaatan kebutuhan tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan turunan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu dalam PP Nomor 46 Tahun 2021 tentang Tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, terutama pada Pasal 21 ayat (1):

Dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta menyediakan fasilitas untuk digunakan oleh penyelenggara Telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa: (a) tanah; (b) bangunan; dan/atau (c) infrastruktur pasif Telekomunikasi. 

Selain itu, Raperda Jaringan Utilitas perlu sama-sama dipastikan agar sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam perubahan UU nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang terdapat dalam UU Cipta Kerja diatur bahwa perananPemda adalah memberikan kemudahan bagi penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomuni secara transparan, akuntabel, dan efisien.

Dalam memberikan kemudahan ini pun Pemda wajib berkoordinasi dengan Menkominfo. Pada PM Kominfo nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Pasal 26 juga diatur bahwa pemanfaatan SJUT ini sifatnya dapat bukan wajib.

Oleh karena itu, diperlukan kreatifitas dan inovasi dari Pemda DKI Jakarta dan Jakpro agar SJUT memiliki daya tarik bagi penyelenggara telekomunikasi seperti harga yang bersaing dan kualitas yang lebih baik. "Dengan kondisi seperti itu, pastinya penyelenggara telekomunikasi mau memindahkan jaringannya."

Sejalan dengan Semangat Jakarta Jadi Kota Kolaborasi

20160901-Semrawutnya Instalasi Kabel di Ruang Utilitas Jalan TB Simatupang-Jakarta
Kondisi instalasi kabel jaringan bawah tanah di Jalan TB Simatupang, Jakarta, Kamis (1/9). Pengguna jalan melintas di sisi lokasi pengerjaan peningkatan dan pelebaran serta saluran dekat pintu tol Lenteng Agung 2. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Perda Jaringan Utilitas juga perlu dipastikan sejalan dengan PP nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Hal ini terkait dengan ganti rugi pemindahan jaringan utilitas.

Dalam PP nomor 52 Tahun 2000 Pasal 70 Ayat 1 diatur bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/ departemen/ lembaga atau pihak lain.

Sinkronisasi ini diperlukan agar terdapat kepastian dan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha dan masyarakat termasuk penyelenggara telekomunikasi.

Hal ini, kata dia, tentunya sejalan dengan semangat Pemprov DKI Jakarta yang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota kolaborasi. Pemda, DPRD, pelaku usaha, dan masyarakat perlu bekerja sama, agar dapat maju, dan berkembang.

Dengan demikian, kata Syarifudin, Fraksi Gerindra menilai Raperda yang disampaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu dikaji ulang dan dibahas kembali agar sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, sebelum nantinya ditetapkan.

"Selanjutnya, perlu juga dipastikan agar penetapan tarif pada SJUT melibatkan stakeholders atau pemangku kepentingan yang terkait dan wajib dikoordinasikan dengan Menkominfo," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya