Polemik TNI Aktif Isi Jabatan Sipil: Sekjen Gerindra: Kalau Presiden Setuju, Saya Kira Tak Masalah

Revisi UU TNI yang memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil menimbulkan polemik. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menilai tak masalah jika presiden menyetujui, tapi perlu aturan yang rigid agar supremasi sipil tetap terjaga.

oleh Nafiysul Qodar Diperbarui 18 Mar 2025, 09:16 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2025, 09:16 WIB
Muzani
Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani. (Liputan6.com/Delvira Hutabarat).... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memantik perdebatan sengit. Sorotan tajam tertuju pada usulan yang memungkinkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya supremasi sipil dan kembalinya dwifungsi ABRI.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani turut merespons penolakan penempatan TNI aktif dijabatan sipil. Gelombang penolakan ini terus bergulir di tengah proses pembahasan RUU TNI oleh DPR dan pemerintah.

Muzani yang juga Ketua MPR ini berpendapat, tidak ada masalah dengan penempatan TNI aktif di jabatan sipil selama ada persetujuan dari presiden. Sebab, tetap ada aturan yang mengatur prajurit harus mengundurkan diri atau pensiun jika menempati jabatan sipil tertentu.

"Kalau presiden menyetujui, saya kira enggak ada masalah. Yang penting kan kemudian presiden memberikan persetujuan dan yang bersangkutan pensiun dari jabatan ataupun posisi dari militer aktif," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Memang banyak pihak yang menilai RUU TNI ini berpotensi mengancam demokrasi Indonesia jika tidak dikawal ketat. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa dengan adanya pengawasan yang ketat, potensi negatif tersebut dapat diminimalisir. Perdebatan ini menjadi sangat krusial dalam menjaga keseimbangan antara peran militer dan pemerintahan sipil.

Pemerintah mengklaim, revisi UU TNI ini diajukan dengan tujuan untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme TNI. Namun, usulan penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif menjadi poin yang paling kontroversial dan menuai kritik dari berbagai kalangan.

 

Reporter: Alma Fikhasari

Merdeka.com

Promosi 1

Polemik Revisi UU TNI dan Ancaman Supremasi Sipil

Peneliti The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania mengingatkan bahaya revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil. Ia menekankan pentingnya menjaga supremasi sipil dan menghindari kemunduran dari semangat reformasi 1998.

Menurutnya, usulan ini berpotensi meluaskan pengaruh militer dalam pemerintahan dan mengancam demokrasi Indonesia. Padahal UU TNI saat ini sudah mengatur larangan prajurit aktif menduduki jabatan sipil, kecuali beberapa pengecualian.

Kekhawatiran Christina bukan tanpa dasar. Pengalaman sejarah menunjukkan bagaimana dominasi militer dalam pemerintahan dapat berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi.

Oleh karena itu, revisi UU TNI harus dikaji secara cermat dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan tidak terjadi kemunduran demokrasi. Proses revisi yang transparan dan partisipatif sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang mengakomodasi berbagai kepentingan.

Perdebatan ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara peran militer dan sipil. Supremasi sipil harus dijaga agar tidak terjadi dominasi militer dalam pemerintahan. Revisi UU TNI harus memastikan bahwa peran militer tetap berada dalam koridornya dan tidak mengganggu jalannya pemerintahan sipil.

Usulan Menhan dan Penambahan Jabatan Sipil

Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif TNI. Namun, perluasan ini hanya mencakup institusi yang sudah diisi oleh prajurit aktif, terutama di bidang keamanan dan penegakan hukum. Usulan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja di bidang-bidang tersebut.

Menhan Sjafrie mengusulkan penambahan jabatan sipil dari 10 menjadi 15. Jabatan tambahan tersebut mencakup bidang kelautan dan perikanan, BNPB, BNPT, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung. Penambahan ini dirasa perlu untuk memperkuat kapasitas negara dalam menghadapi tantangan keamanan dan penegakan hukum.

Meskipun usulan Menhan bertujuan untuk meningkatkan kinerja, tetap penting untuk mempertimbangkan potensi dampaknya terhadap supremasi sipil. Mekanisme pengawasan yang ketat dan aturan yang jelas perlu diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan menjaga keseimbangan kekuasaan.

Pembahasan RUU TNI di DPR RI dan Kontroversi yang Muncul

Pembahasan RUU TNI di Komisi I DPR RI masih berlangsung dan belum final. Proses pembahasan ini menarik perhatian publik karena mencakup beberapa perubahan signifikan, mulai dari penempatan prajurit di jabatan sipil hingga perpanjangan usia pensiun perwira. Kritik dan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, perlu dipertimbangkan.

DPR dan Pemerintah mengklaim, RUU TNI bertujuan memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme TNI. Namun, beberapa poinnya menuai kontroversi, khususnya terkait penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan perluasan operasi militer selain perang (OMSP). Proses pembahasan yang dianggap kurang transparan juga memicu kritik.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan turut menyuarakan keprihatinannya. Mereka menekankan pentingnya menjaga supremasi sipil dan mencegah kembalinya dwifungsi ABRI. Partisipasi aktif masyarakat sipil dalam proses pembahasan RUU TNI sangat penting untuk memastikan revisi ini tidak merugikan kepentingan nasional.

Penjelasan Sekjen Gerindra Terkait Penempatan TNI Aktif di Jabatan Sipil

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani merespons penolakan penempatan TNI aktif dijabatan sipil. Hal itu merupakan salah satu poin perubahan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Menurutnya, tak ada masalah dengan menempatkan TNI aktif di jabatan sipil selama ada persetujuan dari presiden. Sebab, tetap ada atuaran prajurit harus mengundurkan diri atau pensiun jika menempati posisi sipil tertentu.

"Kalau presiden menyetujui saya kira enggak ada masalah, yang penting kan kemudian presiden memberikan persetujuan dan yang bersangkutan pensiun dari jabatan ataupun posisi dari militer aktif," kata Muzani, Senin.

Dia menegaskan, harus ada aturan yang tegas agar peran TNI tidak menabrak supremasi sipil. Sehingga, masyarakat tidak terganggu dengan keberadaan TNI di jabatan sipil.

"Ya harus (diatur) rigid. Harus rigid. Di UU TNI supaya sipil tidak merasa terganggu, dan seterusnya harus rigid," tegas dia.

 

 

TNI Aktif Jabat di BUMN Harus Ajukan Pensiun Dini

Muzani mencontohkan TNI menempati posisi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam aturan yang disepakati dalam daftar invetarisasi (DIM) revisi UU TNI dijelaskan bahwa BUMN tidak termasuk dalam 16 kementerian dan lembaga yang bisa diisi TNI aktif.

Sehingga, mereka yang ditugaskan di jabatan sipil tapi di luar 16 kementerian dan lembaga seperti BUMN, maka diwajibkan mengundurkan diri.

"Ya kalau dia disitu ya harus mundur," ungkap Muzani.

Selain itu, TNI yang ditugaskan pun berdasarkan kemampuannya di bidang tertentu seperti pertanian dan peternakan.

"Kan tentara kan meskipun memiliki keahlian di dunia militer, kan secara personal juga ada orang-orang yang memiliki kemampuan dalam bidang-bidang teknis, di bidang pertanian, perikanan," paparnya.

Berkaca dari aturan yang disepakati itu, dia menjamin revisi UU TNI tidak akan membangkitkan kembali dwifungsi ABRI seperti yang dikhawatirkan masyarakat sipil.

"Saya kira ndak. Kan ada batasan-batasannya," ucap Muzani.

Infografis Pemerintah dan DPR Kebut Bahas Revisi UU TNI.
Infografis Pemerintah dan DPR Kebut Bahas Revisi UU TNI. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya