Liputan6.com, Jakarta Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, Partai Demokrat berpegang pada fatsun politik bahwa penguasa yang sedang berkuasa tidak patut menjelekan penguasa pendahulu. Persoalan pandemi seharusnya menjadi fokus bersama dan saling evaluasi ketimbang membandingkan kepemimpinan era sebelumnya.Â
Menurut Kamhar, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin, Demokrat tidak menghakimi pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga
"Kami berpegang pada fatsun etika politik berbangsa dan bernegara bahwa penguasa yang sedang berkuasa tak patut dan tak pantas untuk menjelek-jelekkan penguasa pendahulunya," ujar Kamhar kepada wartawan, Rabu (27/10).
Advertisement
Saat ini, menurut Kamhar, negara masih diterpa berbagai masalah akibat pandemi Covid-19. Seharusnya semua pihak saling berkolaborasi untuk mengatasi permasalahan yang ada.
"Negara dan rakyat kita sedang diterpa berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19, semestinya semua elemen bangsa bersinergi dan berkolaborasi mengatasi persoalan yang ada, bukan malah sebaliknya," ujar Kamhar.
Ia pun berharap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terbuka hatinya. Sebaiknya Hasto mewujudkan suasana yang lebih teduh dan kondusif.
"Semoga Hasto terbuka hati dan pikirannya untuk mewujudkan suasana yang lebih teduh dan kondusif," kata Kamhar.
Â
Lumrah dalam Demokrasi?
Â
Adapun Plt Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor mengungkapkan alasan PDIP membandingkan kinerja dengan SBY. Padahal, selain SBY ada beberapa tokoh nasional yang juga pernah menduduki kursi R1.
"Kerap orang membanding-bandingkan antara apa yang terjadi saat ini dengan masa lalu, yang paling mudah tentu saja dengan SBY, mengingat waktunya kan berdekatan dan polanya juga melalui Pemilu langsung. Memang banyak yang sama dalam segi prosesnya," kata Firman kepada Liputan6.com, Senin (25/10/2021).
Dia menegaskan, saling sindir di negara demokrasi seharusnya memang harus terus ada dan bahkan hendaknya tidak berujung. Dengan pengawasan dari oposisi maupun pemerintah, proses perjalanan bernegara akan semakin maju dan terarah.
"Polemik itu harus di negara demokrasi, sebagai konsekuensi. Saling singgung saling silang saling kritik. Tujuannya karena memang tidak ada yang sempurna dan harus saling mengaca diri," ujar Firman.
"Jadi kalau kita lihat di negara maju, kebetulan saya lama di negara maju, Inggris, hal seperti ini makanan sehari-hari politisi, tidak di Indonesia saja," dia mengimbuhkan.
Meski demikian, Firman menampik saling serang PDIP dan Demokrat tersebut terkait dengan sokongan elite partai pada 2024 mendatang. Perseteruan itu murni antara dua entitas kuat yang bakal bertarung pada ajang demokrasi lima tahunan mendatang.
"Kita lihat momen saling sindir sekarang menurut saya tidak terkait kandidasi, bukan menyangkut langsung Puan atau AHY, tidak terlalu plek ke sana. Tetapi saya kira ini akan terkait dua entitas besar yang punya potensi akan beradu lagi di 2024," terang dia.
Sekali lagi dia menegaskan, perilaku kedua partai ini masih dalam taraf yang wajar. Tentunya masing-masing pihak punya seperangkat argumen dalam penilaian siapa yang terbaik.
"Memang kita saling mendebat, dari sisi ekonomi dari sisi demokrasi, publik jadi tercerahkan ada perbandingan sudut pandang. Orang akan mencoba menilai tidak hanya satu arah. Kalau tidak begini, hanya menciptakan dogma-dogma saja. Jadi semakin berargumen, saling sindir, tidak personal, ada faktualnya, ya tidak masalah," dia menandaskan.
Advertisement