Catatan Akhir Tahun, PKS Anggap 2021 Masa Suram Pembangunan Riset Nasional

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto memberikan ulasan terkait pengembangan sektor riset dan teknologi di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

oleh Yopi Makdori diperbarui 30 Des 2021, 20:26 WIB
Diterbitkan 30 Des 2021, 20:20 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: Dok/Man.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto memberikan ulasan terkait pengembangan sektor riset dan teknologi di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Mulyanto menilai, sejak 2019 hingga 2021, pembangunan riset dan teknologi nasional menjadi semakin suram, terutama terkait dengan aspek kelembagaannya.

Padahal, menurut dia, untuk membangun techno-structure kelembagaan riset-teknologi tersebut butuh waktu panjang.

"Perlu waktu yang lama untuk membangun rumah Iptek yang kokoh. Tidak semudah merobohkannya," ujar Mulyanto dalam keterangan tulis, Kamis (30/12/2021).

Karenanya, lanjut dia, Pemerintah harus serius, mendalam, dan gunakan kepala dingin mengevaluasi persoalan ini bila ingin membangun Iptek nasional.

Menurut Mulyanto, cermin suram pembangunan Iptek tampak ketika dirinya menyaksikan bagaimana si Gatot Kaca N-250, pesawat seratus persen inovasi anak bangsa diderek menuju museum.

"Tersayat hati kita melihat drama ini," kata dia.

Lalu satu demi satu kelembagaan Iptek dibubarkan. Pertama adalah dibubarkannya Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), sehingga tugas perumusan dan koordinasi kebijakan ristek menjadi terbelah antara Kemendikbud-Ristek dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Lalu diikuti pembubaran BATAN dan LAPAN.

"BATAN dan LAPAN bukan sekedar lembaga penelitian dan pengembangan. Karena keduanya masing-masing adalah Badan Pelaksana tugas pokok ketenaganukliran dan Badan Penyelenggara keantariksaan dan penerbangan, sebagaimana amanat Undang-Undang," ucap Mulyanto.

Misalnya, kata dia, dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, berbunyi:

"Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir."

Langgar UU

FOTO: Diwarnai Aksi Walk Out, DPR Sahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Undang-Undang
Suasana Rapat Paripurna pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan, sementara tujuh fraksi lainnya menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dengan pembubaran BATAN dan LAPAN, dinilai Mulyanto Pemerintah telah melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.

"Kemudian BPPT dan LIPI dibubarkan. Awalnya fungsi pengkajian dan penerapan teknologi dalam BPPT dilebur ke dalam BRIN dalam bentuk OPL (organisasi pelaksana lit-bang-ji-rap), namun terakhir unit kerja ini hilang," kata dai.

"Menciut menjadi hanya sekedar OR (organisasi riset). Padahal BRIN, sesuai amanat UU No. 11/2019 Sisnas-Iptek bertugas melaksanakan litbangjirap secara terintegrasi dari hulu ke hilir dari invensi sampai inovasi," sambung Mulyanto.

Tak berhenti sampai di situ, sebanyak 44 Balitbang kementerian teknis juga dibubarkan untuk dilebur ke dalam BRIN.

Namun, yang juga tidak mudah untuk dimengerti menurut Mulyanto adalah dibubarkannya Dewan Riset Nasional (DRN), yang anggotanya terdiri dari para ahli Iptek berkaliber internasional dan diganti dengan Dewan Pengarah BRIN, yang diketuai Ketua Dewan Pengarah BPIP dan Ketum Parpol, yang tidak memiliki reputasi di dunia Iptek.

"Hal itu terkesan terjadi politisasi Iptek dan de-Habibienisasi, yakni dihapuskannya karya kelembagaan teknologi yang dihasilkan di era begawan Iptek Prof. Dr. BJ Habibie," tegas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya