Alasan Kemendikbudristek Kurikulum Prototipe Tak Langsung Diwajibkan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberi alasan mengapa tidak langsung memberlakukan Kurikulum Prototipe secara nasional.

oleh Yopi Makdori diperbarui 09 Jan 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2022, 10:01 WIB
FOTO: Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka di Tangerang
Siswa mencuci tangan saat uji coba pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di SMAN 1 Kota Tangerang, Banten, Senin (6/9/2021). Dinas Pendidikan Provinsi Banten uji coba PTM di SMA di Kota Tangerang secara terbatas dengan bergiliran dan menerapkan protokol kesehatan ketat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberi alasan mengapa tidak langsung memberlakukan Kurikulum Prototipe secara nasional.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo atau Nino menerangkan, pihaknya ingin sekolah memiliki otonomi untuk meramu operasionalisasi kurikulum.

"Ada dua tujuan. Pertama, menegaskan bahwa sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan dan konteksnya. Kedua, agar proses perubahan kurikulum nasional terjadi secara lancar dan bertahap," jelas Nino melalui akun Instagram pribadinya, dikutip pada Minggu (9/1/2022).

Terkait kurikulum, menurut Nino sebenarnya tugas pemerintah adalah menetapkan kerangkanya. Bukan menetapkan kurikulum yang sudah operasional, yang siap digunakan begitu saja oleh sekolah.

Menyusun kurikulum yang operasional adalah tugas sekolah. Jadi kurikulum antar sekolah bisa dan seharusnya berbeda, sesuai dengan karakteristik murid dan kondisi sekolah.

"Tentu asalkan mengacu pada kerangka yang sama," tulis dia.

Otonomi profesi guru

Penyusunan kurikulum operasional ini, dikatakan Nino merupakan bagian dari otonomi profesi guru. Sebagai pekerja profesional, guru memiliki kewenangan untuk bekerja secara otonom, berlandaskan ilmu pendidikan.

"Sayangnya, ekosistem pendidikan kita sudah lama dianggap sebagai pelaksana kebijakan pusat. Dalam hal pembelajaran pun demikian. Mindset-nya kepatuhan pada aturan, bukan rasa berdaya sebagai pekerja profesional," kata dia.

Akibatnya regulasi kurikulum dari pusat kerap dianggap sebagai resep atau instruksi. Sampai format dokumen pun banyak yang merasa perlu diseragamkan dari pusat. Nino menganggap hal ini sebagai akibat karena regulasi yang memang kadang terlalu kaku, rinci, dan menyeragamkan.

Hal ini yang sedang Kemendikbudristek di bawah arahan Mendikbudristek Nadiem Makarim mencoba ubah, salah satunya melalui kebijakan opsi kurikulum.

"Kami ingin menegaskan bahwa sekolah bertanggungjawab untuk merefleksikan kerangka kurikulum mana yang cocok untuk mereka. Dan bahwa sekolah boleh dan seharusnya menyusun sendiri kurikulum operasional yang kontekstual, sesuai dengan kebutuhan murid dan kondisi sekolah," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya