Liputan6.com, Jakarta Akademisi Rocky Gerung menilai kehadiran seseorang dalam acara baiat tidak serta merta dicap sebagai bagian dari kelompok tersebut. Hal itu disampaikan Rocky sebagai saksi meringankan sidang perkara dugaan tindak pidana terorisme dengan terdakwa Munarman.
Menurutnya, secara psikologi ketika seseorang hadir dalam acara baiat atau dalam istilah agama kristen kerap disebut baptis tak bisa disebut lantas ikut ke dalam keyakinan itu. Karena keyakinan harus ada kesepakatan antara batin dan pikiran disaat acara baiat tersebut.
"Jadi kalau saya cuma dengar-dengar di situ cuma ada di situ hadir. Ya orang bisa aja ada apa sih ada apa? Ya dia datang aja, oh ini pembaptisan ya? jadi nggak ada hubungannya (ikut berkeyakinan)," kata Rocky ketika sidang di PN Jakarta Timur, Rabu (2/3/2022).
Advertisement
Sehingga, apabila dikaitkan dalam perkara Munarman, kehadiranya pada Januari sampai April 2015 dengan ikut menghadiri beberapa acara baiat hanya sekedar menghormati atas kehadirannya di acara tersebut.
Termasuk saat acara baiat berkedok seminar di Sekretariat FPI Kota Makassar, Markas Daerah Laskar Pembela Islam (LPI) Sulawesi Selatan, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Sudiang Makassar, dan Pusat Pengembangan Bahasa (Pusbinsa) UIN Sumatera Utara.
"Walaupun kita lihat dia khusyuk banget iya tapi intensinya nggak di situ. Lain fokusnya, jadi hanya karena dia hormati maka dia tidak bisa (disebut ikut keyakinan)," kata Rocky.
Lantas, Rocky menanggapi berkaitan diamnya seseorang dalam acara baiat, tidak bisa dikatakan setuju dengan keyakinan itu. Menurutnya persoalan padangan Joe Biden soal "Silence Is Complicity, atau (Diam Adalah Keterlibatan) tidak sesuai.
"Joe Biden dia pakai itu dalam konteks yang lain, karena dia ingin dapat (merubah). Maka dia klaim itu politisi selalu klaim seperti itu, anda diam artinya anda setuju," sebutnya.
Namun pendapat Joe Biden, lanjut Rocky bisa berbeda dengan etika dalam pandangan feminisme yang memang melihat diamnya seorang perempuan tidak bisa dikatakan setuju. Karena diamnya perempuan, bisa difaktorkan karena didominasi laki-laki.
"Karena perempuan memang dikondisikan untuk diam oleh laki-laki, karena kebudayaan, karena culture, bukan karena diam maka dia setuju untuk diperkosa, nggak begitu. Diamnya itu menimbulkan respect pada kita, jadi tidak ada konsekuensi diam artinya setuju," lanjutnya.
Selain itu, Rocky juga mengatakan ketidaksetujuan dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Namun bukan berarti dirinya kontra dengan orang-orang yang bergabung maupun mendukung terhadap kelompok teroris tersebut.
"Saya bilang saya tidak setuju dengan ISIS, bukan saya anggap saya tidak setuju dengan orang yang pro ISIS, lain. Saya bisa kasih argumentasi sendiri terhadap argumen saya," kata Rocky.
Argumen mantan dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) itu dilontarkan, berkaitan pertanyaan dari jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta pendapatnya mengenai kelompok ISIS.
Menurut Rocky, ada nilai-nilai yang berbeda dan bertentangan dengan demokrasi, salah satunya persoalan hirarki yang berlaku di ISIS dan itu melanggar nilai-nilai demokrasi.
"Mungkin ada ideal type time itu, tapi kalau saya periksa bahwa dalam demokrasi tidak boleh ada hirarki. ISIS sudah hirarki melanggar demokrasi," sambungnya.
Ketidaksetujuan lainnya terhadap ISIS, ujar Rocky berkaitan aturan yang mengizinkan kekerasan dan sikap intoleran yang dilakukan dan menjadi pegangan kelompok tersebut.
"Kekerasan tidak diizinkan segala macam apalagi itu kulturnya juga tidak toleran bahkan terhadap sesamanya. Jadi semua itu membatalkan saya untuk mengapresiasi," katanya.
Hanya saja, dirinya juga tidak bisa melarang seseorang mengikuti itu karena punya pengalaman batin tersendiri. Selain itu, menurut Rocky, setiap orang mempunyai pengalaman tersendiri.
"Secara akademisi saya tidak bisa larang orang untuk punya alasan lain, karena orang lain punya pengalaman batin lain dengan ideal type itu," jelasnya.
"Pandangan ahli terhadap orang-orang yang bergabung dengan ISIS bagaimana?" tanya JPU.
"Tidak mungkin saya menerangkan mereka, dia secara eksistensial punya pengalaman lain, ini saya bilang saya dungu kalau saya mau terangkan ini," tutur Rocky.
Â
Dakwaan Munarman
Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman, didakwa merencanakan atau menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana terorisme.
Dia disebut menggunakan ancaman kekerasan yang diduga untuk menimbulkan teror secara luas. Termasuk juga diduga menyebar rasa takut hingga berpotensi menimbulkan korban yang luas. Selain itu, perbuatannya mengarah pada perusakan fasilitas publik.
Aksi Munarman diduga berlangsung pada Januari hingga April 2015 di Sekretariat FPI Kota Makassar, Markas Daerah Laskar Pembela Islam (LPI) Sulawesi Selatan, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Sudiang Makassar, dan Pusat Pengembangan Bahasa (Pusbinsa) UIN Sumatera Utara.
Sehingga Munarman didakwa dengan Pasal 14 Jo Pasal 7, Pasal 15 Jo Pasal 7 serta Pasal 13 huruf c Undang-Undang serta Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka
Advertisement