Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyayangkan posisi Indonesia dalam resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menuntut Rusia menghentikan invasi ke Ukraina. Pasalnya, posisi Indonesia dalam voting resolusi ini adalah mendukung.
"Patut disayangkan posisi yang diambil oleh Indonesia karena empat alasan," kata Hikmahanto dikutip dari siaran persnya, Kamis (3/3/2022).
Pertama, dia menilai seolah-olah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia. Sikap Indonesia ini seperti menentukan invasi Rusia ke Ukraina salah.
Advertisement
"Padahal dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional," ujarnya
"Satu hal yang pasti Rusia tidak akan menyatakan dirinya melakukan perang agresi atau serangan terhadap integritas wilayah negara lain," sambung Hikmahanto.
Menurut dia, hal ini karena perang agresi pasca Perang Dunia II telah dilarang. Sehingga, perang hanya boleh untuk dua hal saja, yaitu dimandatkan oleh PBB atau dalam rangka membela diri (self defence).
"Kedua, dengan posisi mendukung, berarti Indonesia hanya mengekor AS dan kawan-kawannya," jelas Hikamhanto.
Dia mengingatkan bahwa Indonesia menganut politik bebas aktif. Oleh sebab itu, seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia.
"Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dkk yang cenderung berpihak pada Ukraina," tuturnya.
Â
Ingatkan Sejarah Timor Timur Lepas dari NKRI
Ketiga, Indonesia seolah melupakan sejarah yang pernah dialami di masa lalu. Hikmahanto menyampaikan bahwa di masa lalu, Indonesia pernah pada posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim).
"Saat itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun oleh AS dkk dihakimi sebagai tindakan aneksasi," ucap dia.
Terakhir, posisi yang diambil oleh Perwakilan Indonesia di PBB tidak sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pasalnya, Jokowi menghendaki agar perang dihentikan.
"Ke depan Kemlu dalam membuat kebijakan untuk menyikapi pertikaian antar negara harus hati-hati dan cermat. Kemlu tidak seharusnya sekedar mengekor perspektif kebanyakan negara, apalagi negara-negara besar yang memiliki pengaruh," pungkas Hikmahanto.
Advertisement