Liputan6.com, Jakarta Gagasan penyatuan tiga identitas, yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, merupakan cikal bakal ide persatuan Bangsa Indonesia. Kepala Departemen Politik Megawati Institute, Marbawi A Katon, menuturkan Sukarno muda lah yang berhasil menyatukan 3 gagasan tersebut.
Di tengah banyaknya istilah tentang "isme" atau paham, Sukarno mampu menekankan, ideologi sangat penting dalam hidup bermasyarakat.
"Jadi bukan khayalan Bung Karno untuk menyatakan 'isme', tapi suatu realita sosial dan itu tidak bisa dibuang karena perbedaan paham," kata Marbawi dalam diskusi Jelang Satu Abad "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”: Apa Artinya Bagi Kita Kini? Jakarta, Jumat (29/4/2022).
Advertisement
Dia menjelaskan, ketiga gagasan tersebut menjadi lebih matang di tangan Sukarno. Sebab, dia merevisi dan menyempurnakan gagasan dari tokoh terdahulu. Misalnya, pemikiran Tjokroaminoto yang dominan paham Islamisme dan Cipto Mangunkusumo dominan ke paham Nasionalisme.
"Bukan membuat sesuatu yang baru bukan itu maksudnya matangnya ini bisa disatukan ini bisa bersahabat. Ini bisa dijadikan satu untuk melawan kolonial Belanda," kata Marbawi.
Yang perlu diingat, lanjut dia, Nasionalisme dan Islamisme sama-sama melawan kapitalisme barat. "Kapitalisme barat kan yang dijajah orang Islam dan jadi orang disebut juga nasionalis. Dan orang Islam yang hidup di Indonesia adalah orang Islam yang nasionalis, yang tidak ingin dijajah kembali," ujar Marbawi.
Keinsafan
Peneliti Sigmaphi, Reno Koconegoro, menjelaskan kaum nasionalisme tidak menilai paham Islamisme adalah rasis. Sukarno sendiri mengajarkan bagaimana gagasan Marxisme bisa menjadi Nasionalis juga Islamis. Inilah mengapa penggabungan itu disebut sebagai cikal bakal dari persatuan Bangsa Indonesia.
"Ada benang yang bisa ditarik bersama dari 3 gol itu kuncinya adalah keinsafan. Kata yang juga jarang kita temukan lagi dalam pasca reformasi. Keinsyafan rukun membikin sentosa," kata Reno.
"3 aliran ini memiliki cita yang sama menjadikan masyarakat yang adil dan makmur," sambung dia.
Reporter: Syifa Hanifah
Sumber: Merdeka
Advertisement