Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah wilayah di Indonesia diterjang banjir beberapa hari terakhir ini. Berdasarkan data dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kejadian banjir terjadi di sepanjang Ciamis-Pangandaran, Jawa Barat menyebabkan longsor dan merendam 517 hektar sawah produktif, menyebabkan longsor di Cijeruk, Bogor, sehingga menimbulkan korban jiwa.
"Banjir juga terjadi di DKI Jakarta, setelah diguyur hujan persisten sejak Sabtu dinihari (21/5/2022). Di Jawa Tengah, banjir bandang terjadi di Kulon Progo, Jogja dan Kendal, Jawa Tengah karena luapan sungai yang merendam 21 kelurahan di wilayah tersebut," ujar Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, Bandung, Senin, 23 Mei 2022.
Baca Juga
Menurut Erma, potensi banjir yang mulai merebak terjadi sepanjang musim kemarau pada tahun ini dapat diketahui sejak bulan Maret 2022.
Advertisement
Berdasarkan data dari Kajian Awal Musim Wilayah Indonesia Jangka Madya (KAMAJAYA) BRIN, yang menunjukkan bahwa di sebagian besar wilayah di Indonesia, khususnya Jawa, berpotensi mengalami kemarau basah bahkan tidak mengalami kemarau sama sekali.
"Berdasarkan kategori intensitas hujan selama tiga dasarian berturut-turut yang tidak pernah kurang dari 150 milimeter sehingga kriteria musim kemarau tidak pernah terjadi di wilayah-wilayah itu," kata Erma.
Erma merinci wilayah tersebut seperti Bogor, Jakarta, Bandung, Purwakarta, Purwokerto, Yogyakarta, dan wilayah lainnya.
Selain itu, intensitas rata-rata hujan yang turun di beberapa wilayah tersebut juga memiliki potensi terjadinya hujan ekstrem, karena dapat mencapai lebih dari 400 milimeter selama dasarian atau sepuluh harian.
"Seperti terjadi pada bulan Mei dasarian ketiga (21-31 Mei) saat ini. Meskipun demikian, bulan Mei masih berada pada periode awal terjadinya peningkatan signifikan hujan pada musim kemarau," ungkap Erma.
Â
Â
Anomali Iklim Global
Peningkatan hujan yang kedua, ketiga, dan seterusnya, dapat terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia seiring anomali iklim global.
Itu berupa fenomena anomali negatif Indian Ocean Dipole (IOD) yang diprediksi oleh berbagai model iklim global dunia akan mencapai maksimum pada bulan Agustus 2022.
"Fenomena IOD negatif ini menunjukkan terjadinya penghangatan suhu permukaan laut di Samudra Hindia tropis bagian timur di dekat wilayah Sumatra, Indonesia. Sebaliknya pendinginan suhu permukaan laut terjadi di Samudra Hindia barat dekat Afrika," jelas Erma.
Erma menerangkan dampak IOD negatif untuk wilayah Indonesia sama seperti La Nina, yaitu menimbulkan anomali basah khususnya di barat Indonesia (Sumatra-Jawa) yang lebih dekat dengan Samudra Hindia.
Selain IOD negatif, fenomena lain yang dapat menambah potensi hujan ekstrem sepanjang musim kemarau di Indonesia adalah pembentukan badai vorteks di selatan ekuator dekat Sumatra-Jawa.
"Badai vorteks ini berperan dalam menciptakan wilayah konvergensi secara terus-menerus di selatan Indonesia meskipun posisi semu matahari telah berada jauh di utara selama periode musim panas Juni-Agustus," tutur Erma.
Advertisement
Faktor Lainnya
Faktor lain yang memperparah potensi banjir selama kemarau adalah aktivitas gelombang tropis ekuator seperti Kelvin atau Rossby.
Ditambah juga gelombang mirip Madden Julian Oscillation (MJO) yang terjadi selama monsun musim panas Asia dan dikenal dengan istilah Boreal Summer Intra-Seasonal Oscillation (BSISO).
"Gelombang BSISO ini juga telah diketahui merupakan fenomena yang dominan dapat terjadi selama periode musim panas," ucap Erma.
Dampaknya adalah pada pembentukan aktivitas klaster awan raksana yang bergerak serentak dari selatan menuju utara, yaitu dari daratan India menuju benua Asia, melewati Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan.
Karena Indonesia berada pada wilayah yang dekat dengan kedua lautan tersebut maka sebagian wilayah di barat Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, juga mengalami dampak berupa peningkatan aktivitas awan dan hujan.
"Ketika BSISO melintasi area dengan fase 4 dan 5, yaitu area India dan Indonesia seperti saat ini," tukas Erma.Â