Liputan6.com, Jakarta - Pasar Indonesia wajib waspada terhadap banjir impor baja, khususnya dari China. Menyusul runtuhnya industri baja Inggris, setelah British Steel, produsen baja utama di negara tersebut, berencana menutup dua blast furnace di pabrik Scunthorpe.
Langkah ini diperkirakan akan mengorbankan hingga 2.700 pekerjaan dan mengubah secara drastis wajah industri baja Inggris. Penutupan blast furnace ini akan menjadikan Inggris sebagai satu-satunya negara G7 yang tidak mampu memproduksi baja dari bijih besi, meningkatkan ketergantungan pada impor baja dan bahan baku dari luar negeri.
Baca Juga
Indonesia menghadapi tantangan serupa dalam industri baja. Banjir impor baja murah, terutama dari China, menekan produsen dalam negeri. Kebijakan tarif tinggi untuk impor baja di Amerika Serikat menyebabkan produsen baja dari China mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
Advertisement
Mengutip data Kementerian Perindustrian, Senin (21/4/2025), kapasitas produksi baja nasional saat ini mencapai sekitar 17 juta ton per tahun. Di sisi lain kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 21 juta ton pada 2025. Menandakan adanya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan baja dalam negeri.
Menurut proyeksi, kebutuhan baja Indonesia pada 2045 diperkirakan mencapai 100 juta ton per tahun. Kebutuhan besar itu bakal terjadi jika seluruh agenda pembangunan industri, infrastruktur, dan manufaktur berjalan sesuai rencana.
Kemenperin mengakui adanya peningkatan produksi baja dari China dan berharap oversupply tersebut tidak membebani industri baja domestik. Mereka menyatakan komitmen untuk melindungi industri dalam negeri agar tetap berdaya saing di pasar lokal maupun global.
"Ketika pasar domestik dibanjiri produk impor dan mengakibatkan tekanan yang berat pada demand domestik. Hal tersebut juga akan mengancam ekonomi 19 juta pekerja dan keluarganya," kata Staf Khusus Menperin Bidang Hukum dan Pengawasan, Febri Hendri Antoni Arief.
Di tengah tekanan global dan derasnya arus impor, Indonesia tidak punya pilihan lain selain memperkuat ketahanan industrinya sendiri. Tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan sistemik: menyatukan kebijakan perdagangan, energi, investasi, dan teknologi dalam satu peta jalan industri baja nasional.
Tenaga ahli industri, dan pemerhati industri baja dan pertambangan, Widodo Setiadarmaji, meminta negara wajib hadir. Bukan untuk menggantikan pasar, tetapi untuk mengarahkan dan melindungi agar pasar bekerja bagi kepentingan nasional jangka panjang.
"Siapa yang memiliki strategi, keberpihakan, dan keberanian untuk melindungi serta membangun industrinya, dialah yang akan bertahan," tegasnya dalam kesempatan terpisah.
Â
Belajar dari Inggris
Belajar dari Inggris, ada sejumlah hal penting yang bisa menjadi bahan refleksi bagi Indonesia dalam mengembangkan industri baja nasional.
Pertama, pentingnya memiliki strategi nasional yang terintegrasi. Pemerintah Inggris kini tengah menyusun Strategi Baja Nasional. Bertujuan memperkuat industri baja lokal, mendorong penggunaan baja dalam negeri, serta melindungi pasar domestik dari praktik dagang yang tidak fair.
Di Indonesia, arah kebijakan serupa juga dibutuhkan. Strategi nasional yang tegas, termasuk penguatan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan roadmap jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada baja impor, menjadi langkah mendesak jika ingin industri baja tumbuh berkelanjutan.
Kedua, soal energi. Salah satu persoalan besar di Inggris adalah mahalnya tarif energi, yang membuat biaya produksi baja menjadi tidak kompetitif dibanding negara lain.
Ketiga, menyangkut perlindungan perdagangan. Inggris menghadapi ancaman hilangnya kebijakan tarif protektif terhadap impor baja pada tahun 2026, yang dikhawatirkan akan membanjiri pasar mereka dengan produk-produk baja murah.
Indonesia diminta harus belajar dari hal ini. Sistem safeguard dan instrumen antidumping perlu diperkuat, tidak hanya sebagai reaksi, tetapi sebagai bagian dari strategi perlindungan yang berkelanjutan bagi pelaku industri dalam negeri.
Â
Advertisement
Kondisi Sulit Industri Baja Nasional
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Lay Monica, menyoroti bahwa industri baja nasional menghadapi kondisi sulit akibat banjir impor baja yang tidak sesuai standar nasional.
"Saya menekankan perlunya implementasi bijak dari kebijakan larangan dan pembatasan impor untuk melindungi industri dalam negeri," ungkap dia.
Sementara Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, mengkhawatirkan bahwa industri baja Indonesia bisa bernasib seperti industri tekstil yang hancur akibat serbuan produk impor.
"Perlunya perlindungan pemerintah terhadap industri baja dalam negeri melalui instrumen seperti Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan safeguard," pinta Andry.
