Ketika Pantun Betawi Bergema di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin

Hasil dari seminar dan workshop ini diharapkan bisa diwujudkan dalam bentuk buku antologi pantun Betawi.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 14 Jul 2022, 09:20 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2022, 09:20 WIB
Para pemantun Betawi berkumpul di TIM,Selasa (12/7/2022)
Pantun merupakan bagian dari tradisi kebudayaan Melayu.

Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Betawi Kita bersama Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin menggelar seminar dan workshop tentang pantun bertema “Membumikan Pantun Betawi” di Auditorium Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Selasa siang (12/07/2022).

Tema soal pantun dijadikan fokus pembahasan oleh Betawi Kita karena sesuai dengan tema yang diusung oleh PDS HB Jassin di bulan Juli ini, yakni bulan literasi dan sastra. Sebagai sebuah perkumpulan main pikiran, Betawi Kita konsisten mengadakan diskusi dengan tema-tema yang aktual. Diskusi pantun Betawi ini, menurut Ketua Perkumpulan Betawi Kita, Roni Adi, merupakan diskusi yang ke-45, sejak diskusi pertama dilakukan pertengahan 2015 di Depok.

“Sejalan dengan perayaan bulan literasi dan sastra, serta dibukanya kembali PDS HB Jassin dan Perpustakaan Jakarta, maka kami menyambut baik ajakan untuk berkolaborasi dengan kembali mengangkat pantun sebagai warisan tradisi lisan di masyarakat Betawi,” ucap Roni Adi dalam sambutannya.

Acara seminar dilaksanakan secara luring dan daring serta dihadiri oleh para peminat kebudayaan Betawi, aktivis organisasi Betawi, pegiat pantun dan puisi Betawi, para guru, dosen, maupun ibu-ibu dan mahasiswa yang tertarik ingin mengetahui soal pantun Betawi.

 

Pantun Betawi dan Pantun Melayu

Seminar dan workshop pantun Betawi
Kedua narasumber workshop ini adalah Yahya Andi Saputra (pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi) dan Fadjriah Nurdiarsih (penulis Betawi).

Ravi Mahendra, salah seorang peserta, mengatakan bahwa sebagai seseorang non-Betawi, ia merasa ingin mengetahui perbedaan mengenai pantun Melayu dan pantun Betawi. Apalagi, dia merasa senang sekaligus takjub mendengar banyak orang Betawi bisa berpantun dengan mudah dan cepat, seolah-olah tanpa berpikir. Ravi hanya tertawa dan menyerah ketika dia disuruh berpantun oleh peserta yang lain.

M. Yafi, salah seorang pegiat pantun dari Tanah Abang, menyatakan, “Pantun Betawi memiliki ciri ataupun corak yang tak dimiliki daerah lain, yaitu menggunakan bahasa Betawi. dan isinya berkaitan dengan kehidupan masyarakat Betawi.

Yafi mengkritisi pantun Betawi yang lebih sering menggunakan bahasa Betawi dialek tengah dan jarang ditemui pantun Betawi yang menggunakan bahasa Betawi dialek pinggir.

 

Betawi Kita bekerja sama dengan PDS HB Jassin menyelenggarakan diskusi pantun Betawi.
Betawi Kita adalah perkumpulan main pikiran Betawi yang sudah eksis sejak 2015.

Yahya Andi Saputra, narasumber diskusi yang merupakan Ketua Penelitan dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi, mengatakan sering ditemukan salah aturan soal pantun, terutama dalam pantun palang pintu. “Misalnya pantun itu sifatnya lebih untuk mengemukakan niat, jadi tanya jawab harusnya dihindari, juga jangan dalam pantun palang pintu itu dibuat menjadi seperti lenong,” katanya.

Selain itu, ucap Yahya, dalam palang pintu biasanya ditentukan siapa yang harus berpantun karena seorang pesilat tidak boleh mengeluarkan pantun. Tugas itu ditentukan oleh juru bicara rombongan. Oleh karena itu, Yahya menyarankan agar acara serupa dibuat lagi dengan sasaran peserta merupakan sanggar palang pintu di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Pantun memang memiliki tempat yang istimewa bagi masyarakat Betawi. Keistimewaan itu karena meluasnya penggunaan pantun bagi masyarakat Betawi, mulai dari remaja, anak-anak, hingga orang tua. Tidak hanya itu, penggunaan pantun juga meluas ke berbagai struktur sosial, mulai dari ulama, pejabat, hingga rakyat kecil, sehingga tidak heran, berbalas pantun menjadi kemudian menjadi ciri dari orang Betawi.

“Salah satu hal yang paling utama dari pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Jadi semangat dan ekspresi yang spontanitas itu didasarkan pada keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas,” ucap Fadjriah Nurdiarsih, narasumber acara yang juga penulis cerpen menekankan.

Kerja Sama Diharapkan Terus Berlanjut

Pemberian buku dan kenang-kenangan kepada PDS HB Jassin.
Nanang Suryana, Kepala PDS HB Jassin, menerima kenang-kenangan dari Roni Adi, Ketua Betawi Kita.

Selain seminar, acara diisi juga dengan sharing session oleh Nuryadi, penulis buku Pantun Betawi Tanah Abang dan workshop penulisan pantun. Selama setengah jam, peserta dibagi dalam enam kelompok dan diminta membuat pantun sesuai gambar yang disiapkan oleh panitia. Suasana ramai dan meriah terasa begitu perwakilan kelompok membacakan pantun-pantun yang mereka buat.

Karena begitu antusiasnya peserta acara ini, pihak PDS HB Jassin yang diwakili oleh Eka Nuretika Putra, Kepala Bidang Deposit, Pengembangan Koleksi, Layanan dan Pelestarian, meminta agar seminar dilanjutkan dengan tindakan berupa pembuatan buku pantun Betawi. Eka juga berharap agar buku pantun itu nantinya bisa diterbitkan dan menjadi koleksi dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya