Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan, Irjen Ferdy Sambo telah mengakui dua hal terkait kasus tewasnya Brigadir J alias Nofryansyah Yosua Hutabarat. Salah satunya yakni merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J.
"Dia mengakui dua hal, dia yang merencanakan pembunuhan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Sabtu (20/8/2022).
Selain itu, eks Kadiv Propam Polri itu juga disebutnya yang menjadi dalang dalam melakukan pengerusakan Tempat Kejadian Perkara (TKP) hingga menghilangkan barang bukti.
Advertisement
"Kedua, dia yang menjadi otak 'Obstruction of Justice' dengan merusak TKP, menghilangkan barang bukti, membuat skenario seolah-olah ada kekerasan seksual di rumah dinas," sebutnya.
Baca Juga
"Kemudian terjadi tembak-menembak antara Bharada E dan Joshua, serta melakukan disinformasi. Itu dua hal pokok yang dia akui dalam pemeriksaan dengan kami," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, tabir yang menutupi kasus kematian Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat semakin tersingkap. Tim Khusus (Timsus) yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menetapkan mantan Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap ajudannya itu.
"Timsus telah menetapkan Saudara FS (Ferdy Sambo) sebagai tersangka," kata Sigit di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/8) malam.
Ferdy Sambo diduga sebagai orang yang memerintahkan Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu untuk menembak Brigadir J. Dia juga menyusun skenario seolah-olah terjadi tembak-menembak di rumahnya pada Jumat 8 Juli 2022.
Skenario Sambo
Skenario yang dibuat, Brigadir J disebut melecehkan istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawati. Bharada E yang datang membuatnya panik sehingga terjadi tembak-menembak, lalu tewas.
Untuk mendukung jalan cerita itu, Ferdy Sambo diduga sengaja menembakkan senjata Brigadir J ke arah dinding rumahnya. CCTV di rumahnya pun disebutkan rusak disambar petir. Kamera pengawas di kawasan sekitar lokasi juga diambil.
Jalan cerita yang disusun bahkan disertai laporan dugaan pelecehan seksual dan pengancaman yang dituduhkan kepada mendiang Brigadir J ke Polres Metro Jakarta Selatan. Putri Chandrawati dan Bharada E, disebut sebagai korban.
Tak sampai di situ, Ferdy Sambo pun memohonkan perlindungan bagi istrinya dan Bharada E ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Aksinya berpeluk-pelukan penuh haru dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, seolah-olah telah menjadi korban dalam peristiwa itu, juga viral di media sosial.
Meski skenario ini resmi disampaikan pihak kepolisian maupun Kompolnas, namun publik menilai banyak kejanggalan. Salah satunya, kondisi jenazah yang membuat keluarga curiga dan melaporkan dugaan pembunuhan ke Bareskrim.
Advertisement
Kasus Ditelaah Ulang
Laporan keluarga Brigadir J dan keriuhan di ruang publik membuat kasus itu ditelaah ulang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan memerintahkan agar semua diungkap dengan terang-benderang. Bukan sekali, orang nomor satu di negeri ini menyampaikannya di empat kesempatan berbeda.
Saat desakan publik menguat, Ferdy Sambo dinonaktifkan dari jabatannya. Jenazah Brigadir J yang telah dimakamkan di Jambi, diautopsi ulang atau ekshumasi.
Perwakilan keluarga Brigadir J yang mengerti medis turut hadir pada autopsi itu. Mereka mencatat sejumlah luka yang menguatkan kecurigaan, termasuk yang diduga akibat tembakan, salah satunya dari belakang kepala tembus ke hidung.
Skenario Ferdy Sambo benar-benar runtuh setelah Bharada E merevisi seluruh keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saat diperiksa timsus, tamtama ini meminta menulis tangan pengakuannya lengkap dengan cap jempol serta meterai. Dia mengaku menembak Brigadir J, namun tidak ada tembak-menembak.
"Ya dia (mengaku) diperintah oleh atasannya. Ya perintahnya ya untuk melakukan tindak pidana pembunuhan," kata Deolipa Yumara, Pengacara nya saat itu.