Liputan6.com, Jakarta - Wacana harga Bahan Bakar Minyak atau BBM naik di Indonesia terus bergulir belakangan ini. Hal itu pun mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Di antaranya dari Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Ari Kuncoro. Ari menawarkan konsep The Golden Mid-Way guna menyiasati krisis energi yang memunculkan potensi kenaikan harga BBM bersubsidi di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Ari, konsep tersebut, terdiri dari menaikkan harga BBM bersubsidi berkisar 30-40 persen, sehingga tetap memacu turisme, di mana UMKM adalah pemain utamanya.
"Atau bisa juga dengan melakukan penyekatan distribusi, sehingga subsidi BBM benar-benar menyasar segmen masyarakat yang tepat dan berhak," kata Ari dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan? di Jakarta, Sabtu 27 Agustus 2022.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi menilai, harga BBM memang seharusnya dinaikkan karena pendistribusian subsidi sudah mulai membengkak.
Dia menjelaskan, sebenarnya pemerintah harus melakukan pendistribusian subsidi yang tepat sasaran dan jumlah yang mencukupi. Sehingga nanti subsidi BBM walaupun dinaikan tetap seimbang.
"Karena memang harus dinaikkan sih kalau bicara kita mengenai subsidi yang sudah terlalu besar. Kalau kita lihat memang bahwa subsidi BBM itu kan sudah di luar batas tapi kita berharap bahwa memang seharusnya apa yang disubsidikan pada masyarakat itu tepat," ucap Diana.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan subsidi energi termasuk Subsidi BBM akan habis pada Oktober 2022. Ini bisa habis jika melihat pola konsumsi masyarakat saat ini. Di mana, terjadi tren peningkatan yang cukup besar apalagi yang mengkonsumsi Pertalite dan Solar.
Berikut sederet tanggapan berbagai pihak soal wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak atau BBM bersubsidi di Indonesia dihimpun Liputan6.com:
1. Rektor UI
Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Ari Kuncoro, menawarkan konsep The Golden Mid-Way guna menyiasati krisis energi yang memunculkan potensi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di Indonesia.
Konsep itu, ujar Ari, terdiri dari menaikkan harga BBM bersubsidi berkisar 30-40 persen, sehingga tetap memacu turisme, di mana UMKM adalah pemain utamanya.
"Atau bisa juga dengan melakukan penyekatan distribusi, sehingga subsidi BBM benar-benar menyasar segmen masyarakat yang tepat dan berhak," kata Ari dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan? di Jakarta, Sabtu 27 Agustus 2022.
Ari Kuncoro dalam kesempatan itu juga menilai istilah kaya, menengah, miskin adalah terminologi masa lalu yang kurang relevan dengan kondisi saat ini. Sebab, faktanya, mereka semua berada dalam satu 'kolam', yakni 'kolam' pendapatan produksi.
"Pendapatan Produksi ini adalah suatu siklus, yakni pendapatan seseorang merupakan hasil dari produksi dia pada orang lain, demikian juga sebaliknya," ujar Ari.
"Berarti, mulai dari kelas masyarakat bawah hingga kaya, saling terkait," tambahnya.
Karena itu, sambung Ari, terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,4 persen. Dan pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh konsumsi, yang salah satunya adalah turisme.
"Persoalannya, pertumbuhan ekonomi ini juga didukung oleh subsidi BBM. Dan subsidi BBM menjadi permasalahan bagi keuangan negara ketika harga minyak dunia naik hingga di atas 100 Dollar per barel," tambah Ari.
Â
Advertisement
2. Pemerhati Isu-Isu Strategis
Pada kesempatan sama, Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan menyatakan bahwa konsep The Golden Mid-Way yang dikemukakan Rektor UI sangat masuk akal.
Imron mengatakan, saat ini harga minyak dunia yang naik secara drastis pasca konflik Rusia-Ukraina, memang membuat harga BBM bersubsidi perlu ditinjau kembali.
"Sehingga konsep yang dikemukakan Rektor UI dengan menaikan harga BBM bersubsidi berkisar 30 - 40 persen, untuk menyokong turisme dan UMKM merupakan hal tepat. Semoga pemerintah mendengarkan hal ini," kata Imron.
Â
3. Moya Institute
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyatakan, konflik Rusia-Ukraina membuat harga minyak dunia terkerek naik hingga di atas 100 dollar per barrel.
Hal itu membuat pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang harga BBM bersubsidi yang berlaku saat ini.
"Wajar apabila harga BBM bersubsidi ini ditinjau kembali, sebab kenaikan harga minyak dunia berpotensi menguras keuangan negara apabila penyesuaian harga BBM bersubsidi tak dilakukan," ujar Hery dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan?, di Jakarta.
Apalagi, sambung Hery Sucipto, banyak pihak yang menilai subsidi BBM ini 'bocor' atau tidak tepat sasaran. Sehingga diperlukan rumusan kebijakan subsidi yang tepat agar tepat sasaran.
"Jangan sampai subsidi dinikmati justru oleh orang-orang kelas menengah keatas, yang sejatinya bukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi," jelas Hery.
Â
Advertisement
4. Pakar Energi
Pada kesempatan sama, pakar energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Yuli Setyo Indartono menekankan perlunya eksplorasi dan peningkatan penggunaan energi bauran dan energi terbarukan, guna menanggulangi krisis energi saat ini. Apalagi tidak ada jaminan harga BBM tidak naik lagi di masa mendatang.
Karena itu, Yuli Setyo menyatakan pentingnya peningkatan penggunaan biodiesel, gasifikasi batu bara dan biomass.
"Kendaraan elektrik juga opsi yang tepat. Norwegia misalnya sudah mencapai 94%, dan subsidinya pun menyasar segmen masyarakat yang tepat," ujar Yuli.
Yuli pun mengingatkan pemerintah bahwa insentif bagi rakyat di tengah kenaikan harga BBM tidak hanya berupa Bantuan Langsung Tunai(BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos), seperti saat ini.
"Tetapi subsidi bisa juga dilebarkan sehingga mencakup kompor listrik atau kendaraan listrik. Insentif yang cukup bermanfaat bagi rakyat saat ini," ujarnya.
Â
5. Kadin DKI Jakarta
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi menilai, harga BBM memang seharusnya dinaikkan karena pendistribusian subsidi sudah mulai membengkak.
Dia menjelaskan sebenarnya pemerintah harus melakukan pendistribusian subsidi yang tepat sasaran dan jumlah yang mencukupi. Sehingga nanti subsidi BBM walaupun dinaikkan tetap seimbang.
"Karena memang harus dinaikkan sih kalau bicara kita mengenai subsidi yang sudah terlalu besar. Kalau kita lihat memang bahwa subsidi BBM itu kan sudah di luar batas tapi kita berharap bahwa memang seharusnya apa yang disubsidikan pada masyarakat itu tepat," ucap Diana, saat acara Djakarta Festival 2022, Jakarta.
Dia pun mengungkap para Usaha Kecil Menengah Mikro (UMKM) dan pelaku industri akan terkena dampak yang lebih berat dan kesulitan karena akan mengaju kepada Harga Pokok Penjualan (HPP).
Oleh karena itu, Kadin pun memberikan masukan kepada pemerintah untuk bisa memberikan subsidi yang lain kepada para UMKM sehingga harga tidak terlalu tinggi.
"Dari industri juga akan berpengaruh. UMKM dan industri dengan kenaikan harga BBM pasti akan ada kenaikan membuat produksitivitas kita terganggu," jelas Dian.
Â
Advertisement
6. Menteri ESDM
Pemerintah berencana menambah subsidi energi terutama untuk BBM yang saat ini ditetapkan sebesar Rp 502,4 triliun. Alokasi APBN dengan adanya tambahan ini diperkirakan bakal mendekati angka Rp 700 triliun.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memproyeksikan, jika harga BBM dipertahankan seperti saat ini maka total subsidi energi yang diperlukan mencapai Rp 695 triliun. Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghitung anggaran akan membengkak menjadi Rp 698 triliun.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menilai, pemerintah sebaiknya menambah anggaran subsidi energi agar tidak menaikkan harga BBM. Alasannya, risiko jika pemerintah tidak menambah subsidi energi lebih besar.
Jika pemerintah tidak menambah subsidi energi maka kemungkinan besar akan menaikkan harga BBM subsidi yaitu untuk Pertalite dan Solar. Kenaikan harga BBM ini berdampak sangat besar.
"Saya lebih memiliki beban subsidi meningkat ketimbang mempertaruhkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dampak kenaikan harga BBM subsidi tidak bisa di anggap ringan," ungkapnya kepada Liputan6.com, Minggu 28 Agustus 2022.
Piter lantas membeberkan risiko yang bakal diderita negara, bilamana harga BBM melambung hingga dekati harga keekonomiannya. Termasuk angka inflasi yang akan terus meninggi, seperti yang sudah terjadi pada banyak negara.
"Lonjakan inflasi bisa mencapai 10 persen, akan memangkas daya beli masyarakat miskin dan memunculkan kemiskinan baru," ujar dia.
"Pertumbuhan ekonomi juga akan terpangkas, reputasi pemerintah juga akan terancam ketika pemulihan ekonomi terganggu. Juga harus dipertimbangkan resiko politik akibat kegaduhan penolakan kenaikan harga BBM ini," keluhnya.
Menurut dia, pemerintah memang perlu berkorban menggelontorkan subsidi BBM lebih besar. Meskipun windfall profit diramal tidak akan sebesar pada bulan-bulan sebelumnya, pasca harga komoditas mulai melandai.
"Tapi tahun ini pemerintah masih bisa berlindung pada UU Nomor 2 tahun 2020, yang mengizinkan defisit di atas 3 persen. Jangan paksakan defisit rendah dengan mengorbankan perekonomian," serunya.
Â
7. Menkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan subsidi energi termasuk Subsidi BBM akan habis pada Oktober 2022. Diketahui, jumlah subsidi energi tahun ini sebesar Rp 502,4 triliun setelah adanya penambahan dari alokasi awal.
Ini bisa habis jika melihat pola konsumsi masyarakat saat ini. Di mana, terjadi tren peningkatan yang cukup besar apalagi yang mengkonsumsi Pertalite dan Solar.
"Ini jadi persoalan, Rp 502 triliun akan habis di bulan Oktober," ungkapnya dalam konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan.
Sri Mulyani menjelaskan dengan adanya pemulihan ekonomi saat ini, yang juga mendorong tingkat konsumsi masyarakat, akan melampaui dari alokasi yang ditetapkan. Hingga saat ini, konsumsi Solar sudah mencapai 63 persen dari alokasi, dan Pertalite sudah 43 persen dari alokasi.
Mengutip data Kementerian ESDM dan BPH Migas, pada akhir tahun konsumsi solar akan mencapai 17,44 juta kilo liter (KL). Ini setara 115 persen dari kuota yang sudah dianggarkan pemerintah.
Sementara untuk Pertalite, mengacu data konsumsi 8 bulan kebelakang diprediksi mencapai 29,07 juta KL di akhir tahun. Ini setara 126 persen dari kuota yang disiapkan pemerintah.
"Kalau kita asumsikan volume dari konsumsi BBM jenis Solar mengikuti 8 bulan terakhir dengan 1,5 juta KL perbulan, kuota itu akan habis di bulan Oktober, demikian juga dengan Pertalite (kuota) 23,05 juta KL akan habis pada Oktober kalau konsumsi di 2,4 atau 2,5 (juta KL) per bulan," paparnya.
Bendahara negara membeberkan hitungannya. Jika tren konsumsi dibiarkan terus seperti ini, pemerintah perlu menambah anggaran sebesar Rp 195,6 triliun. Sehingga totalnya menjadi Rp 698 triliun untuk subsidi energi.
Catatannya, mengikuti tren konsumsi serta mempertimbangkan kurs rupiah sebesar 14.700 per dolar AS. Serta memperhitungkan juga acuan harga minyak mentah (ICP) di sekitar USD 105 per barel.
"Artinya jumlah subsidi kita akan mencapai Ep 698 triliun dengan volume, kurs dan harga minyak yang sekarang terjadi, dan tren sampai akhir tahun," jelas dia.
Advertisement