Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati (SD) sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Dia menjadi hakim agung pertama yang dijerat KPK atas dugaan suap penanganan perkara di MA.
Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya yang diawali dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Adapun sembilan tersangka suap yakni Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), Desy Yustria (DY) selaku PNS pada Kepaniteraan MA, dan Muhajir Habibie (MH) selaku PNS pada Kepaniteraan MA.
Kemudian dua PNS MA bernama Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB), lalu dua pengacara bernama Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES), serta dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Advertisement
Baca Juga
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pengungkapan kasus suap yang melibatkan hakim agung, pegawai MA, dan pengacara ini menunjukkan pembenaran indikasi bahwa budaya mengurus perkara di pengadilan memang berbiaya tinggi.
"Selain ongkos perkara, fee advokat, harus ditambah biaya suap hakim supaya menang," ucap Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (23/9/2022).
Selain itu, dia menilai, kasus ini terjadi akibat lemahnya pola rekrutmen hakim agung yang dilakukan Komusi Yudisial (KY). Fickar menyoroti terputusnya pola pengawasan yang dilajukan KY selaku lembaga yang menjaring calon hakim agung.
"Karena ternyata KY tidak bisa membina dan mengawasi hakim agung-hakim agung yang telah direkrutnya," katanya.
Perbaikan sistem peradilan yang memberikan gaji besar kepada para hakim, termasuk hakim agung dinilai telah gagal total. Karena ternyata gaji besar saja tidak cukup untuk mencegah perilaku koruptif sang pengadil.
"Artinya peristiwa ini mengindikasi lemahnya kesadaran berbangsa. Sebab Mahkamah Agung seharusnya dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yudikatif yang menyelesaikan sengketa yang ada di masyarakat."
"Seharusnya hakim agung sebagai hakim di puncak kekuasaan kehakiman tak lagi tergiur dan memikirkan materi karena mereka sudah matang dan tua. Mereka seharusnya sudah tumbuh sebagai ‘dewa’ keadilan yang mumpuni," ujar Fickar.
Peristiwa ini juga mengindikasikan ternyata sistem pembuktian terbalik belum dilaksanakan dengan konsisten, karena tidak tergambar kekhawatiran para pejabat termasuk hakim agung dalam memperoleh harta secara melawan hukum. Padahal pertanggungjawaban ketat telah dilakukan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Ternyata tidak ngefek apa-apa. Karena itu, menurut saya UU tentang Perampasan Aset menjadi sangat relevan untuk disahkan agar harta-harta pejabat publik yang ilegal dapat dirampas oleh negara," kata Abdul Fickar Hadjar.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir menyatakan bahwa tindak pidana korupsi esensinya bukan persoalan hukum saja. Tetapi yang lebih dominan justru penyelengaraan negara yang menjadi domain hukum administrasi pemerintahan, khususnya hukum administrasi keuangan negara.
"Terjadinya korupsi ada hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi keuangan negara," katanya kepada Liputan6.com, Jumat.
Menurut dia, jika penyelenggaraan pemerintahan tergolong good governance, maka akan menghasilkan angka korupsi yang rendah. Sebaliknya, jika penyelenggaraan negara tergolong bad governance, maka angka korupsi akan semakin tinggi.
"Celakanya dalam pemberantasan Tipikor (tindak pidana korupsi) lebih mengandalkan hukum pidana dari pada hukum administrasi pemerintahan, khususnya administrasi keuangan negara. Padahal justru perbaikan penegakan hukum adminstrasi dan administrasi keuangan negara sebagai pencegah terjadinya tipikor, bukan hukum pidana,".
"Terjadinya tipikor adalah limbah dari terjadinya bad governance. Jadi kalau ingin berantas korupsi harus bisa menciptakan good governance," ujar Mudzakkir menandaskan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyatakan bahwa mafia peradilan sudah menjadi rahasia publik. Menurut dia, penangkapan KPK terhadap hakim agung, pegawai Mahkamah Agung, serta para pengacara ini adalah fenomena gunung es.
"Jika mau diselami lebih dalam kita akan melihat jumlah kasus yang lebih besar dan fakta-fakta yang lebih menakutkan daripada yang dilakukan KPK dalam OTT ini," tutur Feri saat dihubungi Liputan6.com, Jumat.
Dia lantas menyoroti sejumlah peristiwa penyunatan masa hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung. Menurut dia, pengungkapan kasus suap hakim agung ini memiliki korelasi dengan sikap MA yang belakangan ini dinilai pro terhadap korupsi.
Hal ini juga didukung pernyataan Yosep Parera, pengacara yang turut tertangkap tangan dalam operasi senyap KPK.
"Ini satu mata rantai yang mengaitkan sikap Mahkamah Agung yang pro-koruptor dengan budaya koruptif dalam budaya penyelesaian perkara. Karena keterangan dari advokat yang melakukan suap terang benderang bahwa dia dipaksa untuk melakukan suap karena memang itu menjadi suatu kewajaran di Mahkamah Agung," kata Feri.
Karena itu, perlu adanya perombakan total pada institusi MA, termasuk soal jumlah hakim agung yang terlalu gendut. Mestinya dengan perkembangan zaman seperti saat ini, kata dia, jumlah hakim agung tidak lebih dari 9 orang. Tentu jumlah yang sedikit itu harus memiliki integritas yang tinggi serta rekam jejak terbaik selama menangani perkara hukum.
"Namun reformasi peradilan kita tidak mungkin jalan kalau salah satu kuncinya yaitu pemerintah dan DPR itu tidak pernah serius, dan mereka adalah bagian dari sistem koruptif itu. Jadi mestinya kalau memang ingin melakukan reformasi peradilan ini diserahkan kepada tim khusus yang independen yang betul-betul mampu dan diberikan kewenangan untuk merekayasa ulang peradilan kita," ujar Feri mengakhiri.
Usut Skandal Suap di Toilet DPR
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) memberi sejumlah catatan terkait penangkapan hakim agung, panitera, dan sejumlah pegawai MA, serta advokat dalam kasus dugaan suap penanganan perkara.
Pertama, Pukat UGM menyoroti bahwa pembaruan di Mahkamah Agung belum menyentuh aspek dasar, yaitu perubahan budaya. Memang ada beberapa hasil pembaruan di MA, antara lain peningkatan kualitas layanan maupun sarana prasarana.
"Tetapi ada satu kebiasaan buruk, yaitu jual beli perkara nampaknya belum bisa bersih dari institusi ini. Setelah sebelumnya sering kita mendengar ada OTT para hakim di tingkat pertama maupun banding, kali ini tidak main-main yaitu seorang hakim agung, hakim yang menyandang kata agung tetapi perilakunya sangat memprihatinkan," ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman saat dihubungi Liputan6.com, Jumat.
Adapun aspek dasar yang harus menjadi fokus pembaruan MA, yakni meliputi aspek perubahan budaya, aspek perubahan perilaku, dan aspek perubahan cara berpikir.
"Jadi saya pikir ini tugas berat dan harus ada yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Jika seorang hakim terbukti melakukan tindak pidana korupsi seharusnya tidak hanya yang bersangkutan saja yang harus diberikan sanksi, tapi juga atasannya yaitu dalam bentuk pengunduran diri," tutur dia.
Kedua, penangkapan ini menunjukkan bahwa OTT merupakan metode yang masih sangat penting diterapkan sampai sekarang dalam memberantas korupsi. Sementara metode ini identik dengan penyadapan. Karena itu, dia menilai bahwa penyadapan dan OTT yang dilakukan KPK tidak boleh dikesampingkan.
"Kenapa, karena kasus seperti suap itu paling efektif dengan pendekatan OTT, dengan menggunakan metode penyadapan. Susah bagi penegak hukum untuk menggunakan metode case building," ucap Zaenur.
Ketiga, MA harus mengambil langkah serius untuk memperbaiki institusinya. Dia sependapat dengan Feri Amsari bahwa banyaknya hakim baik di tingkat pertama maupun banding, dan terbaru hakim agung yang terjerat kasus suap merupakan satu fenomena gunung es yang harus didekati secara programatik.
"MA harus mengambil langkah serius, tidak hanya melihat kasus ini sebagai kasusistik, tetapi melihat bagaimana terjadi kebocoran sehingga praktik suap masih saja bisa dilakukan di internal Mahkamah Agung. Padahal telah ada sedemikian banyak program pembaruan, termasuk misalnya penerapan sistem manajemen antipenyuapan."
Jika langkah serius tidak dilakukan, maka risiko terbesar dari peristiwa ini adalah semakin hilangnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Kondisi ini akan berdampak pada sikap masyarakat yang cenderung melakukan cara-cara di luar hukum dalam menghadapi masalah. Aksi main hakim sendiri atau eigenrichting akan semakin merajalela.
"Itulah dampak yang paling mengerikan dari merebaknya kasus suap di dunia peradilan. Maka harus ada evaluasi mendalam, menyeluruh, dan juga harus ada perubahan besar-besaran di internal Mahkamah Agung apabila badan peradilan masih ingin dihormati, dihargai, dan dipercayai oleh masyarakat," ucap Zaenur menandaskan.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengapresiasi KPK melakukan OTT kasus suap yang melibatkan hakim agung Sudrajad Dimyati. Menurutnya, ini adalah langkah berprestasi yang ditorehkan KPK, setelah sebelumnya sering menyasar MA namun baru bisa menangkap pejabat level bawah.
Atas keberhasilan ini, kata dia, KPK semestinya mampu mengembangkan penyidikan kepada pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Sebab, ada informasi di masa lalu beberapa oknum mengaku keluarga pejabat tinggi MA menawarkan membantu kemenangan sebuah perkara.
"Yang tentunya dengan minta imbalan yang fantantis. Proses markus ini dilakukan dengan canggih termasuk dugaan kamuflase transaksi pinjaman atau hutang piutang," ucap Boyamin dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jumat.
Selain itu, KPK semestinya juga mengembangkan OTT ini dengan cara mendalami dugaan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) saat rekruitmen hakim agung. Hal ini sebagaimana isu suap atau skandal pertemuan di toilet antara Sudrajad Dimyati selaku calon hakim agung dengan anggota Komisi III DPR pada 2013 silam.
"Meskipun isu toilet ini dinyatakan tidak terbukti di Komisi Yudisial, namun tidak menutup kemungkinan KPK mampu menemukan alat bukti dengan segala kewenangannya seperti penyadapan dan penelusuran rekening bank," tutur Boyamin.
Advertisement
Rekor Penangkapan Hakim Agung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati (SD) bersama lima pegawai Mahkamah Agung (MA), dua pengacara, dan dua pihak swasta sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Ini menjadi rekor baru bagi KPK karena Sudrajad merupakan hakim agung pertama yang dijerat dalam kasus suap.
Adapun sembilan tersangka lain yang dijerat KPK dalam perkara ini, antara lain Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), kemudian Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH) selaku PNS pada Kepaniteraan MA, serta PNS MA bernama Redi (RD) dan Albasri (AB).
Lalu dua pengacara bernama Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES), serta dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
"Dari pengumpulan berbagai informasi disertai bahan keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi dimaksud, KPK kemudian melakukan penyelidikan dalam upaya menemukan adanya peristiwa pidana sehingga ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022).
"Selanjutnya KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan, berdasarkan hasil keterangan saksi dan bukti-bukti yang cukup maka penyidik menetapkan sebanyak 10 orang sebagai tersangka," Firli menambahkan.
Firli menyebut, Hakim Agung Sudrajad, Elly Tri Pangestu, Desy Yustria, Muhajir Habibie, Redi, dan Albasri diduga menerima sejumlah uang dari Heryanto Tanaka, Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Yosep, dan Eko Suparno. Suap didiga berkaitan dengan upaya kasasi di MA atas putusan pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
"Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP (Yosep) dan ES (Eko) melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES," ungkap Firli.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil gelar perkara pasca-OTT KPK di Jakarta dan Semarang pada Rabu, 21 September 2022 hingga Kamis, 22 September 2022.
Dalam OTT itu, KPK mengamankan delapan orang, yakni Desy Yustria, Muhajir Habibie, Edi Wibowo, Albasri, Elly Tri, Nurmanto Akmal (PNS MA), Yosep Parera, dan Eko Suparno. Tim KPK juga menyita barang bukti uang yang diduga suap senilai SGD205.000 dan Rp50 juta.
Uang SGD205.000 diamankan saat tim KPK menangkap Desy Yustria di kediamannya. Sementara uang Rp50 juta diamankan dari Albasri yang menyerahkan diri ke Gedung KPK.
"Adapun jumlah uang yang berhasil diamankan sebesar SGD205.000 dan Rp 50 juta. Terkait sumber dana yang diberikan YP (Yosep) dan ES (Eko) pada majelis hakim berasal dari HT (Heryanto) dan IDKS (Ivan Dwi)," kata Firli.
Sudrajad Terima Uang Rp800 Juta
Firli Bahuri menyebut, Sudrajad Dimyati diduga menerima uang Rp800 juta untuk mengurus perkara di MA. Sudrajad menerima uang tersebut melalui Elly Tri Pangestu.
"SD (Sudrajad) menerima sekitar sejumlah Rp800 juta yang penerimaannya melalui ETP (Elly Tri)," ujar Firli.
Firli mengatakan, uang Rp800 juta yang diterima Sudrajad itu untuk mengondisikan putusan kasasi gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari koperasi simpan pinjam Intidana (ID) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang.
Gugatan diajukan Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur. Keduanya diwakili kuasa hukumnya bernama Yosep Parera dan Eko Suparno.
Saat gugatan yang mereka ajukan berlanjut kepada tingkat kasasi di MA, Yosep dan Eko aktif berkomunikasi serta bertemu dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim.
"Yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP (Yosep Parera) dan ES (Eko Suparno)," kata Firli.
Firli mengatakan, Yosep dan Eko kerap berkomunikasi dan bertemu dengan Desy Yustria selaku PNS pada Kepaniteraan MA. Desy kemudian mengajak Elly Tri Pangestu dan Muhajir Habibie yang juga PNS pada Kepaniteraan MA untuk menjadi penghubung penyerahan uang kepada hakim.
"DS (Desy Yustria) dan kawan-kawan diduga sebagai representasi dari SD (Sudrajad Dimyati) dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di MA," kata Firli.
Total uang yang diserahkan tunai oleh Yosep Parera dan Eko Suparno sekitar SGD202 ribu atau setara Rp2,2 miliar. Uang itu kemudian dibagi-bagi Desy Yustria Rp250 juta, Muhajir Habibie Rp850 juta, Elly Tri Pangestu Rp100 juta, dan Sudrajad Dimyati Rp800 juta.
"Dengan penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan YP dan ES pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan koperasi simpam pinjam ID pailit," ujar Firli.
Merujuk situs MA, kasasi itu tercatat dengan nomor perkara 874 K/Pdt.Sus-Pailit/2022. Sudrajad Dimyati duduk sebagai anggota majelis bersama dengan Hakim Agung Ibrahim.
Sementara Ketua Majelis dipimpin Hakim Agung Syamsul Ma'arif. Dalam putusan pada 31 Mei 2022, kasasi atas kepailitan itu dikabulkan oleh majelis hakim MA.
Atas perbuatannya, Heryanto Tanaka, Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Yosep, dan Eko Suparno yang diduga sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Sudrajad, Elly, Desy Yustria, Muhajir Habibie, Redi, dan Albasri yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Teka-Teki Transaksi di Toilet DPR
Penangkapan Sudrajad Dimyati oleh KPK membuka lagi kisah skandal transaksi di toilet DPR pada 2013 silam. Saat itu, Sudrajad yang mencalonkan diri menjadi hakim agung diterpa isu suap anggota Komisi III dari Fraksi PKB, Bachrudin Nasori.
Pertemuan antara Sudrajad dengan Bachrudin terjadi di toilet DPR pada saat pelaksanaan fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung. Dan di tahun itu, Sudrajat gagal menjadi hakim agung.
Berdasarkan catatan Liputan6.com, Komisi Yudisial (KY) pernah melakukan pemeriksaan Sudrajad Dimyati, calon hakim agung yang bertemu anggota Komisi III DPR Fraksi PKB, Bachrudin Nasori di toilet saat uji calon hakim agung. Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak itu diperiksa KY selama 2 jam.
KY juga memeriksa Bachrudin Nasori yang diduga menerima amplop putih dari Sudrajad saat berada di toilet DPR. Keduanya sudah membantah adanya lobi-lobi ataupun pemberian amplop tersebut.
Setahun kemudian, Sudrajad kembali mencalonkan diri lagi dan akhirnya dilantik sebagai hakim agung pada Oktober 2014 bersama Purwosusilo, Amran Suadi dan Is Sudaryono.
Dikutip dari situs resmi badilag.mahkamahagung.go.id, pelantikan keempat hakim agung itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 93/P/2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Oktober 2014.
Keempat nama itu terpilih dalam rapat pleno Komisi III DPR RI setelah melewati pemungutan suara. Baik Sudrajad, Purwosusilo, Amran Suadi dan Is Sudaryono sama-sama meraih 38 suara.
Ketua Komisi (KY) Mukti Fajar Nur Dewata mengakui bahwa Sudrajad Dimyati pernah terlibat dugaan lobi-lobi terkait seleksi hakim agung pada 2013 silam. Hal ini disampaikan Mukti dalam jumpa pers di Kantor KY, Jakarta, Jumat (23/9/2022).
"Mengenai lobi itu terjadi di tahun 2013 dan pada saat itu," katanya.
Namun Mukti menegaskan, isu lobi-lobi tersebut tidak terbukti. Sehingga, Sudrajad tetap lolos pada seleksi hakim tahun berikutnya.
"Informasi yang saya dapatkan bahwa itu tidak terbukti, sehingga kemudian saudara tersebut dinyatakan lolos pada proses seleksi calon hakim," ucapnya.
Pada tahun 2013, Komisi III DPR menggelar fit and proper test calon hakim agung. Ada salah satu yang menarik dalam seleksi ini, Hakim Tinggi Pontianak, Sudrajad Dimyati usai menjalani fit and proper test dirinya keluar dan langsung menuju kamar mandi atau toilet di sebelah ruang Komisi VIII DPR.
Tak selang berapa lama, Sudrajad yang mengenakan kemeja putih dan jas itu dibuntuti oleh anggota Fraksi dari PKB Bachrudin Nasori. Keduanya tertangkap basah, melakukan pembicaraan dan bisik-bisik.
Tepat di depan toilet, Sudrajad menyerahkan sesuatu kepada Bachrudin dengan cepat. Namun, belum diketahui apakah yang diserahkan tersebut terkait agar dirinya lulus dalam fit and proper test calon hakim agung. Pasalnya, posisi Bachrudin menutupi barang yang diserahkan.
"Tidak ada, saya tidak melakukan lobi-lobi," kilah Sudrajad saat ditanya wartawan dengan mimik gugup, DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2013).
Ketika dimintai klarifikasi perihal pertemuan di toilet bersama calon hakim agung tersebut, Anggota Komisi III dari Fraksi PKB itu membantah dan terlihat kaget. "Yang mana, saya sering ke kamar mandi karena mau kencing," bantah Bachrudin dengan kaget.
Politisi PKB ini tegas membantah menerima sesuatu dari Sudrajad Dimyati. Dirinya berkilah hanya menerima secarik kertas dan menanyakan perihal calon hakim agung perempuan baik karier dan non-karier.
"Saya tak menerima apa-apa, saya cuma minta daftar nama soal calon hakim agung perempuan yang karier dan non karier. Jadi saya nanya mana yang karier dan non karier," jelas Bachrudin.
Sudrajat langsung ngacir menghindari wartawan dan pergi ke mobilnya. Saat ditanya apakah yakin akan lulus menuju calon hakim agung, dia menjawab menyerahkan sepenuhnya ke DPR.
Advertisement