Liputan6.com, Jakarta - Saat ini sedang berlangsung the 22nd session of the United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) atau Forum Tetap untuk Isu-isu Masyarakat Adat di New York, Amerika Serikat. Acara ini berlangsung di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa dari 17-28 April 2023, dengan tema "Indigenous Peoples, human health, planetary and territorial health and climate change: a rights-based approach".
Yang mewakili Indonesia adalah Nukila Evanty. Nukila adalah pemimpin dari Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) atau Indigenous Peoples' Representatives. Nukila merupakan satu-satunya wakil dari Indonesia. Nukila bersama 14 orang lainnya dari berbagai negara di dunia, hadir untuk Forum Tetap untuk Isu-isu Masyarakat Adat. Acara ini didukung oleh the UN Voluntary Fund for Indigenous Peoples.
Nukila menjelaskan bahwa forum ini penting karena membutuhkan partisipasi dan suara dari masyarakat adat untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat adat di seluruh dunia.
Advertisement
"Kakek dan ayah saya kelahiran Rokan Hilir, Riau. Kami bangga dengan bahasa, adat, tradisi, tanah, hutan, dan sungai yang harus kami pertahanankan sampai kami mati dan teruskan kepada generasi berikutnya," tukas Nukila.
Data dari International Working Group for Indigenous Affairs (IWGIA), menyebutkan Indonesia adalah rumah bagi 50-70 juta masyarakat adat atau 18% -19% dari seluruh populasi penduduk Indonesia. Jumlah masyarakat adat memang kurang dari 6 persen dari populasi dunia, tetapi persoalan-persoalan yang dihadapi sangat beragam.
Mulai dari hidup dalam kemiskinan, kurangnya informasi dan pendidikan, bahasa adat terancam punah, persoalan tanah/lahan yang diambil, tak ada mekanisme konsultasi jika perusahaan datang ke hutan masyarakat adat, hingga perempuan dan anak-anak paling termarjinalkan.
"Bayangkan karena atas nama pembangunan infrastruktur, sungai mereka mengering, tanah yang subur terkontaminasi, tanaman obat hilang, sumber makanan hilang, air bersih menjadi kotor dan mengering," jelasnya.
Dalam forum ini, Nukila mengangkat isu masyarakat adat di Provinsi Riau. Mulai dari masalah kebakaran hutan dan lahan gambut, hingga masifnya perkebunan kelapa sawit.
"Sebagian besar tanah ini secara historis dimiliki oleh masyarakat adat, dan tanpa persetujuan, tanah-tanah ini telah beralih penguasaan orang lain. Dugaan banyak perusahaan dengan backup oknum pemerintah dan penegak hukum, kadang-kadang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka," ungkap Nukila.
"Hal ini telah melanggar Pasal 10 UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People's) yang menyebutkan bahwa tanah masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak ada relokasi yang boleh dilakukan tanpa persetujuan dan harus diinformasikan kepada masyarakat adat yang bersangkutan dan setelah kesepakatan tentang kompensasi yang adil. Jika memungkinkan, dengan opsi untuk dikembalikan," imbuh dia.
Lemah di Tahap Implementasi
Hak-hak masyarakat adat yang telah mendiami kawasan hutan/lahan gambut sejak zaman nenek moyang telah dilanggar. Lahan dan hutan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan industri ekstraktif lainnya. Namun, pada saat kebakaran hutan, berdampak pada masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan.
Kebakaran hutan menimbulkan penyakit bagi masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan. Sebut saja paru-paru yang memburuk, umumnya terdampak pada ibu hamil dan anak-anak. Asap memperparah penyakit asma, bronkitis, dan infeksi pernapasan serta penyakit jantung bagi lansia.
Lebih dari itu, masyarakat adat banyak mengalami ekstorsi, diberi sejumlah uang secara paksa atas nama proyek pembangunan dan skema bagi hasil, lalu dibujuk untuk meninggalkan hutan hingga diancam preman.
Karena itu, melalui forum ini perlu ditegaskan tentang resolusi UNGA (United Nations General Assembly) yang menyebutkan bahwa hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan terkait dengan hak-hak lain dan hukum internasional yang ada, memerlukan implementasi penuh dari perjanjian lingkungan multilateral yang harus dipatuhi oleh perusahaan hingga pemerintah. Juga perlu ada tindak lanjut tentang dampak studi perkebunan kelapa sawit, hingga industri ekstraktif bagi masyarakat adat.
"Kita banyak meratifikasi deklarasi dan instrumen hak asasi manusia (HAM) atau pun mendukung deklarasi internasional tentang HAM, tetapi semuanya lemah diimplementasi dan semua orang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, melupakan dan melanggar hak-hak kami masyarakat adat," tutup Nukila.
Advertisement