Amnesty International: Kebebasan Warga Sipil Tergerus di Era Pemerintahan Jokowi

Usman mengatakan, pihaknya menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Okt 2022, 17:13 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2022, 17:03 WIB
Aktivis Desak Pemerintah Serius Tuntaskan Kasus Munir
Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid (kanan) saat menyampaikan keterangan bersama terkait 15 tahun terbunuhnya aktivis HAM Munir di Jakarta, Jumat (6/9/2019). Koalisi Keadilan untuk Munir mendesak pemerintah tegas dan serius menuntaskan kasus Munir. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Negara terus-menerus menekan suara kritis dan membiarkan tekanan tersebut  juga dilakukan oleh aktor non-negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas, kata Amnesty International Indonesia dalam laporan yang dirilis hari ini. 

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat menyampaikan Laporan Amnesty berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”, yang merupakan bagian dari acara RightsFest!: Pekan Kebebasan Berekspresi, di Dia.lo.gue Arts Cafe, Kemang, Jakarta Selatan.

"Walaupun pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berulang kali menyatakan komitmennya untuk menghormati dan melindungi kebebasan sipil, namun data dan faktanya justru berkata lain. Kebebasan tergerus dari atas dan dari bawah. Ini harus diperbaiki pemerintah Indonesia,” kata Usman

Usman mengatakan, pihaknya menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.

Serangan yang dimaksud berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat, atau kritik atas kebijakan negara.

"Sedangkan serangan dari bawah berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara," kata dia. 

Usman mengatakan, Selama tiga tahun terakhir, serangan dari kedua arah tersebut menggerus ruang publik dan berakibat hilangnya hak-hak asasi para aktivis, jurnalis, mahasiswa, akademisi, dan demonstran.

Laporan ini disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara.

Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang.

“Peretasan terhadap puluhan jurnalis Narasi akhir September membuktikan masalah ini masih terus berlanjut,” kata Usman.

 


Tergerusnya Kebebasan Sipil

Aksi Ratusan Buruh Tolak UU Cipta Kerja
Presiden KSPI Said Iqbal saat berorasi di depan para buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). Massa buruh dari berbagai serikat pekerja tersebut menggelar demo terkait penolakan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dari 23 sampai 30 September 2022, setidaknya 37 anggota tim redaksi Narasi TV menjadi korban peretasan atau percobaan peretasan. Situs Narasi pun mendapatkan serangan DDoS yang menyertakan ancaman pembunuhan berpesan “Diam atau mati.” Sampai saat ini ditulis, penyelidikan terhadap peretasan ini masih berlangsung.

Sejak 2020 hingga Juni 2022, berbagai survei memperkuat indikasi tergerusnya kebebasan sipi. Survei Indikator Politik Indonesia, misalnya, menemukan 60,7% responden setuju bahwa saat ini orang-orang lebih takut untuk menyuarakan pendapat mereka, 57,1% merasa lebih sulit untuk menggelar demonstrasi, dan 50,6% berpikir bahwa semakin banyak orang yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh pemerintah karena perbedaan pendapat dengan penguasa.

"Sebagian besar pelaku serangan dan ancaman ini tidak mendapat hukuman dari negara. Akibatnya menciptakan iklim ketakutan,” kata Usman.

“Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, ruang publik untuk berpendapat semakin menyempit, bahkan bisa jadi menakutkan, sehingga berisiko besar bagi masa depan situasi kebebasan berpendapat di negara ini”.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya