Liputan6.com, Jakarta Keterbukaan informasi saat ini menuntut upaya adaptasi melalui peningkatan pemahaman para pemangku kepentingan dan masyarakat terkait HIV/AIDS. Dukungan masyarakat untuk terlibat aktif mendampingi orang yang terpapar HIV/AIDS hidup dengan layak, sangat dibutuhkan.
"Saat ini kita masih menghadapi kondisi publik yang belum mampu menempatkan dirinya dan penderita HIV/AIDS dalam struktur masyarakat kita. Hal ini merupakan masalah yang kita hadapi saat ini," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdiijat saat membuka secara daring diskusi bertema Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (30/11/2022).
Diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Anggiasari Puji Aryatie itu menghadirkan Anggota Komisi IX DPR RI, Hasnah Syams, Mars, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, Imran Pambudi dan Nurul Direktur Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak /SAPDA, Saadah Andriani sebagai narasumber.
Advertisement
Selain itu hadir pula Community of Practice Officer Siklus Indonesia, Putri Khatulistiwa dan Ketua LSM Yayasan KDS Jepara Plus Muhammad Syafi'i sebagai penanggap.
Baca Juga
Menurut Lestari, fakta bahwa Indonesia termasuk lima negara yang memiliki kasus HIV /AIDS terbanyak di Asia Tenggara, harus menjadi perhatian semua pihak dengan konsisten meningkatkan berbagai upaya pencegahan penyakit menular di tanah air.
"Bagaimana kita lakukan sosialisasi terhadap publik dan melibatkan masyarakat untuk ikut mengatasi persoalan, agar penderita HIV/AIDS bisa hidup layak di tengah masyarakat, harus benar-benar direalisasikan," ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Karena, menurut Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah, persoalan yang dihadapi dunia saat ini bukan hanya sekadar pemahaman soal AIDS, tetapi publik dunia masih menganggap AIDS harus ditutupi dan penderitanya mendapat sanksi sosial.
Jadi, menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, permasalahan terkait HIV/AIDS yang dihadapi puluhan tahun lalu, masih menjadi problem besar dan nyata di masyarakat saat ini.
"Sehingga, diperlukan berbagai upaya adaptasi di tengah berbagai perubahan yang terjadi saat ini, khususnya terkait pengendalian penyakit menular, seperti HIV/AIDS," tegas Rerie.
Kelompok Rentan
Anggota Komisi IX DPR RI, Hasnah Syams berpendapat untuk pencegahan penularan HIV/AIDS di tengah masyarakat perlu fokus pada kelompok masyarakat rentan seperti antara lain kelompok perempuan dan anak serta ibu hamil.
Menurut Hasnah, upaya pemerintah untuk tekan HIV/AIDS lewat berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan layanan dan pengobatan, harus benar-benar direalisasikan.
Selain itu, ujar Hasnah, juga tidak kalah penting jaminan ketersediaan obat HIV di daerah-daerah juga harus dipastikan.
Menurut Hasnah, strategi Kementerian Kesehatan untuk mengatasi HIV/AIDS di tanah air lewat strategi suluh, temukan, obati dan pertahankan harus konsisten dilakukan.
Sebagai wakil rakyat, Hasnah berkomitmen mendukung berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat dukungan ketersediaan anggaran dan sarana prasarana yang diajukan pemerintah.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, Imran Pambudi mengungkapkan saat ini pemerintah sudah melakukan desentralisasi layanan HIV/AIDS ke Puskesmas, agar lebih dekat dan mempermudah akses masyarakat.
Dengan target pemeriksaan ibu hamil 5,2 juta per tahun, ujar Imran, saat ini pihaknya sudah melakukan skrining HIV/AIDS terhadap sekitar 2,5 juta ibu hamil, lewat pengaplikasian antigen combo yang sekaligus mendeteksi penyakit sivilis.
Dengan upaya tersebut, Imran berharap pemerintah bisa mendeteksi dan mengantisipasi penularan dengan melakukan intervensi lebih awal.
Pekerjaan rumah buat kita semua saat ini, ujar Imran, bagaimana orang dengan HIV/AIDS yang sudah mengetahui dirinya positif dan mengonsumsi obat, bisa konsisten melakukan pengobatan agar virusnya dapat ditekan.
Kesetaraan layanan HIV/AIDS terhadap kelompok rentan seperti ibu hamil dan anak, menurut Imran, terus diupayakan pemerintah.
Syafi'i berharap kolaborasi semua pihak bisa segera diwujudkan untuk menghapus stigma itu. Selain itu, tambahnya, dukungan pemerintah terkait pembiayaan pengobatan HIV/AIDS sangat diharapkan.
Di akhir diskusi wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, fakta bahwa orang yang terpapar HIV/AIDS berpeluang hidup selayaknya orang normal lewat pengobatan yang berkelanjutan, harus disosialisasikan.
Upaya itu, tambah Saur, diharapkan mampu menekan tingkat kegagalan dalam pengobatan HIV/AIDS.
Menurut Saur, berbagai kebijakan dalam upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS, seperti penggunaan kondom, merupakan langkah realistis yang bisa diterapkan saat ini.*
Advertisement
Banyak Tak Sadar Terpapar HIV
Direktur Yayasan SAPDA, Nurul Saadah Andriani mengungkapkan masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa dirinya terpapar HIV/AIDS, sehingga kondisi itu berisiko terhadap diri dan lingkungannya.
Karena HIV/AIDS, menurut Nurul, sangat berkaitan erat dengan isu kesehatan reproduksi. Sehingga, penderita HIV/AIDS pun dengan cepat meluas.
Di Yogyakarta, ungkap Nurul, dari 1993-2021 tercatat kelompok masyarakat yang tertinggi terpapar HIV/AIDS pada usia 20-29 tahun. Bahkan, ujarnya, anak dan disabilitas di Yogyakarta juga sudah terpapar HIV/AIDS.
Menurut Nurul, dibutuhkan upaya bersama untuk mencegah penularan lebih luas lagi lewat peningkatan pemahaman masyarakat terkait HIV/AIDS.
Community of Practice Officer Siklus Indonesia, Putri Khatulistiwa berpendapat berbicara tentang HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Kendala yang dihadapi saat ini, ungkap Putri, terkait stigma terhadap orang dengan HIV yang berujung pada tindakan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Mitos yang berkembang terkait HIV/AIDS, tambah Putri, membuat masyarakat salah dalam memahami informasi tentang penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS.
Untuk mengatasi kendala itu, Putri mengungkapkan, pihaknya berupaya membangun jejaring dengan para kreator konten untuk menyosialisasikan isu-isu terkait gender, disabilitas, kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.
Dengan memanfaatkan berbagai media yang ada untuk menyampaikan informasi-informasi akurat terkait HIV/AIDS, Putri berharap, sejumlah stigma yang berpotensi menciptakan diskriminasi bisa ditekan.
Ketua LSM Yayasan KDS Jepara Plus, Muhammad Syafi'i mengungkapkan pemahaman masyarakat Jepara terkait HIV/AIDS masih kurang, terutama di masyarakat kalangan bawah yang tinggal di pedesaan.
Sosialisasi HIV/AIDS di tingkat kabupaten Jepara, dirasakan Syafi'i masih kurang, karena hanya orang tertentu saja yang dilibatkan dalam proses sosialisasi itu.
Akibatnya, tegas Syafi'i, stigma yang memicu diskriminasi terhadap orang dengan HIV di Kabupaten Jepara masih kuat.